Jakarta –
Truk sedang menjadi sorotan akhir-akhir ini lantaran banyaknya terjadi kasus kecelakaan yang dipicu kendaraan jumbo tersebut. Pemerintah pun disarankan agar melakukan berbagai upaya pencegahan, salah satunya adalah memindahkan angkutan barang dari truk ke kereta api.
“Untuk membenahi aktivitas truk dengan dimensi dan muatan berlebih (over load over dimension/ODOL), Kementerian Perhubungan jangan fokus di jalan raya, namun dapat mengoptimalisasi angkutan kereta api. Terlebih di jalan raya masih rawan pungutan liar (pungli) dan cawe-cawe oknum aparat penegak hukum (APH) di jembatan timbang,” buka pengamat transportasi Djoko Setijowarno dalam keterangan resminya, Senin (18/11/2024).
Djoko menambahkan, saat ini jalan raya mendominasi angkutan barang secara nasional. Misalnya pada 2019 lalu, angkutan jalan mencatat 16,07 miliar ton/tahun (87,57%), angkutan udara 0,52 juta ton/tahun (0,003%), angkutan laut 2,23 miliar ton/tahun (12,16%), angkutan SDP 0,56 juta ton/tahun (0,003%), sementara angkutan kereta api cuma 47,6 juta ton/tahun (0,26%).
“Padahal biaya transportasi menggunakan moda jalan raya akan efektif maksimal pada jarak 500 km. Lebih dari itu, truk barang akan membawa muatan lebih. Lihat saja tiap truk yang membawa muatan dari Jawa Timur ke Jakarta, Jawa Barat dan Banten atau sebaliknya, rata-rata membawa muatan lebih karena jaraknya sudah lebih dari 500 km. Jalan pantura dalam setahun, sekitar satu bulan mengalami perbaikan dan alami kemacetan panjang, perbaikan jalan secara bergantian antara Rembang – Semarang. Jelas sangat mengganggu kelancaran mobilitas orang dan barang,” terang Djoko.
Djoko tak memungkiri jika tarif angkutan barang menggunakan kereta api lebih mahal ketimbang truk. “Namun dalam realitanya, di angkutan kereta api dibebani PPN (pajak pertambahan nilai) dan TAC (Track Access Charge). Selain itu moda KA wajib menggunakan BBM (bahan bakar minyak) nonsubsidi. Sementara BBM subsidi sebanyak 93% dinikmati warga yang mampu (pemilik kendaraan pribadi). Mestinya semua angkutan umum (orang dan barang) tak kecuali moda KA juga menggunakan BBM subsidi,” kata Djoko lagi.
Maka dari itu, agar tarif membawa barang menggunakan moda KA dapat bersaing dengan moda jalan raya, pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan untuk menghilangkan PPN dan TAC. Selain itu, moda KA sebaiknya dibolehkan menggunakan BBM subsidi sebagai angkutan umum membawa barang.
Ilustrasi kereta api angkutan barang Foto: Dok. KAI
|
“Beberapa jenis barang yang dapat diangkut dengan kereta api, di antaranya barang kemasan, sparepart, obat-obatan, hewan peliharaan, pupuk, semen. Namun, angkutan barang dengan moda kereta api juga memiliki beberapa kelemahan, seperti membutuhkan sarana dan prasarana khusus, membutuhkan investasi, biaya operasi, biaya perawatan, dan tenaga yang cukup besar, pelayanan orang dan barang hanya terbatas pada jalurnya,” bilang Djoko.
Data dari PT KAI (2024), panjang jalan rel di Pulau Jawa 4.564 km dan Pulau Sumatera 1.542 km. Saat ini tersedia 167 stasiun yang melayani aktivitas angkutan barang yang tersebar di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.
Selanjutnya, ada 10 komoditi yang dapat diangkut menggunakan moda KA, yaitu batubara (15 stasiun), petikemas (18 stasiun), semen/klinker (19 stasiun), BBM/BBK (12 stasiun), CPO dan Lateks (15 stasiun), Pulp (bubur kertas dan kayu) di 2 stasiun, retail (66 stasiun), pupuk (6 stasiun), B3 dan limbah B3 (4 stasiun), depo balast dan angkutan rel (10 stasiun).
“Angkutan barang menggunakan moda kereta api diselenggarakan dengan menggunakan gerbong atau kereta bagasi. Kereta api barang atau kereta api kargo adalah kereta api yang digunakan untuk mengangkut barang. Kereta api sangat sesuai untuk mengangkut barang curah dan berat dalam jarak jauh karena gaya gesekan yang rendah. Beberapa kelebihan angkutan barang dengan kereta api di antaranya gerbong kereta api dapat diatur suhu ruang penyimpanan barangnya, kereta api bisa pindah dari satu titik ke titik lain dengan cepat, kereta api dianggap sebagai metode transportasi yang aman,” ungkap Djoko.
(lua/rgr)