Jakarta –
Desa Bukchon Hanok di perbukitan utara Seoul, Korea Selatan kebanjiran wisatawan. Warga risih hingga mencari solusi untuk mengurangi kunjungan.
Desa wisata itu dikenal dengan gang-gang sempit yang berliku dan sejarah panjang sejak Dinasti Joseon. Banyak wisatawan mancanegara maupun lokal yang datang karena tertarik dengan rumah-rumah kuno dengan tiang dan pintu kayu yang khas, halaman, serta atap genteng.
Di balik larisnya wisata tersebut, terdapat dampak yang ternyata tidak nyaman untuk penduduk lokal.
Melansir Independent, Rabu (30/10/2024), warga mengeluh tentang aksi turis yang membuat kebisingan, buang sampah sembarangan, buang air kecil di tempat umum, hingga pelanggaran privasi.
Warga yang mengeluh misalnya Kwon Young-doo. Dia pemilik galeri seni pribadi di Desa Bukchon Hanok di Seoul.
Dia prihatin dengan kebijakan jam malam yang akan datang yang merupakan dampak dari pariwisata berlebihan di daerah itu.
Jam malam yang akan diuji coba pada November, sementara secara resmi diluncurkan pada Maret tahun depan. Peraturan itu diharapkan dapat membatasi akses turis ke daera-daerah tertentu di Bukchon mulai pukul 17.00 hingga pukul 10.00 waktu setempat.
Bagi pelanggar, denda sebesar 100 ribu W=won atau sekitar Rp 1,137 juta menantinya. Namun, Kwon justru mengkhawatirkan dampak peraturan tersebut.
“Siapa yang mau berkunjung? Mereka akan pergi dengan kesan buruk tentang Korea Selatan,” kata dia.
Sementara itu, beberapa turis tertangkap kamera pengintai saat mencoba memasuki rumah-rumah pribadi atau mengintip ke dalam tanpa izin. Hal itu menimbulkan perselisihan dengan penduduk setempat.
Menurut kantor distrik Jongno, banyak penduduk juga dikabarkan memilih untuk pergi dan menyebabkan penurunan populasi desa sebesar 27,6 persen selama 10 tahun terakhir. Jumlah penduduk saat ini hanya berkisar 6.100 orang. Berbanding terbalik dibanding 6 juta turis yang berkunjung tahun lalu.
Kepala distrik Jongno, Chung Moon-hun mengatakan bahwa tujuan kebijakan itu untuk melindungi hak-hak penduduk. Pembatasan itu juga akan disesuaikan jika diperlukan.
Area jam malam dan denda akan diberlakukan sekitar 34 ribu meter persegi atau seluas lima lapangan sepak bola. Namun, penduduk setempat justru skeptis dengan efektifitas kebijakan itu. Alasannya adalah celah kebijakan bagi turis yang bermalam di akomodasi Hanok.
Warga juga menyalahkan menjamurnya penginapan di daerah tersebut yang dikelola oleh perusahaan dan disebut mengganggu kehidupan mereka.
Di sisi lain, sejak tahun 2020 pihak berwenang telah melonggarkan aturan rumah tradisional Korea yang menawarkan akomodasi. Itu mengakibatkan lonjakan penginapan di Hanok yang dikelola oleh perusahaan.
“Orang-orang datang hanya untuk bersenang-senang, dan suara bising dari pesta-pesta itu sangat keras,” ujar Kim Eun-mee, yang tinggal di sebelah penginapan Hanok.
Alhasil membersihkan sampah di depan rumahnya telah menjadi pekerjaan rumah yang mesti dilakukan beberapa kali dalam sehari.
“Sering kali sulit untuk mempertahankan rutinitas harian yang normal karena gangguan seperti orang-orang yang menyeret koper bahkan pada dini hari, yang sering kali membangunkan saya,” sambungnya.
Namun, CEO platform BUTLER.LEE, Lee Dong-woo, mengatakan bisnis berkembang pesat lantaran para pemilik kesulitan untuk merenovasi atau merawat properti tua mereka. Alhasil mereka mempercayakan kepada bisnis perhotelan.
“Permintaan inilah yang mendorong ekspansi, bukan karena kami secara aktif menggusur para penghuni yang ada saat ini untuk mengoperasikan penginapan hanok, dan hal ini sama sekali tidak benar,” ujar Lee, yang mengelola 17 penginapan hanok di Bukchon.
(wkn/fem)