Jakarta –
Dunia dihebohkan dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik dari semula 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Yang menjadi sorotan besaran kenaikan bukan 1%, melainkan 9%.
Dikutip dari beberapa unggahan viral dari sejumlah akun edia sosial, Sabtu (21/12/2024), persentase kenaikan 9% yang dimaksud ialah kenaikan pajaknya, bukan barangnya.
Persentase tersebut sontak menuai berbagai respons warganet. Tidak sedikit yang merasa bahwa kenaikan upah minimum (UM) tidak sebanding dengan dampak dari kenaikan PPN. Beberapa di antaranya juga merasa bebannya bertambah dengan potensi kenaikan harga beberapa produk.
“Gaji sekecil itu berkelahi dengan PPN,” bunyi komentar akun @am****, dikutip dari salah satu unggahan viral.
“Ini masih hitungan 1 barang. Belum lagi efek hulu ke hilirnya. Tiap item barang dan jasanya naik 1% semua,” bunyi komentar akun @te****.
Apakah benar besaran kenaikan PPN bukan 1%, melainkan 9%?
Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menjelaskan, ada yang namanya statutory tax rate atau tarif yang tertulis secara legal. Kenaikan sebesar 1% itu statutory tax rate.
“Memang pemerintah biasanya menggunakan statutory tax rate. Sedangkan yang 9% adalah kenaikan besaran beban pajak yang dibayarkan dibandingkan beban pajak sebelumnya. Jadi, tarifnya secara legal naik 1%. Sedangkan beban pajaknya, naik 9% dari beban pajak sebelumnya,” terang Fajry saat dihubungi detikcom, Sabtu (21/12/2024).
Sementara itu, Pengamat pajak sekaligus founder Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam mengatakan, angka sebesar 9% itu merupakan persentase dibandingkan dengan PPN yang semula dibayarkan. Ia pun membuat perhitungan dengan rumus sebagai berikut:
(%) Kenaikan tarif PPN = persentase tarif PPN baru – persentase tarif PPN lama / (prosentase tarif PPN lama) x 100%
= (12% – 11%) / (11%) x 100%
= 1/11 x 100%
= 9,09%
“Angka 9.09% tersebut kalau kenaikan PPN dibandingkan dengan PPN yang semula dibayar,” terang Darussalam, dihubungi terpisah.
Sedangkan secara total nominal yang dibayar atau harga barang kena pajak ditambah PPN, bisa menggunakan rumus 12% dikalikan dengan harga barang kena pajak, misal Rp 100.000. Hasilnya, jumlah yang dibayarkan konsumen sebesar Rp 112.000.
“Dibandingkan total nominal yg dibayar semula sebesar 11% dikalikan Rp 100.000, total dibayar semula Rp 111.000 (naik Rp 1.000),” sambungnya.
Berdasarkan dua perhitungan tersebut, menurutnya total nominal yang dibayar dengan adanya kenaikan PPN adalah bisa menggunakan rumus selisih kenaikan harga dibagi dengan harga barang saat PPN masih 11%. Perhitungannya sebagai berikut:
(Rp 1.000/Rp 111.000) x 100% = 0,9%
“Menurut saya justru yang terpenting bagi masyarakat terhadap kenaikan PPN ini adalah menuntut uang pajak yang sudah kita bayarkan untuk digunakan dengan bijak. Persoalan sekarang ini terkait dengan pajak adalah sebenarnya masalah trust terhadap alokasi uang pajak. Uang pajak harus dirasakan dan dinikmati oleh masyarakat banyak,” ujar Darussalam.
Simak Video Daftar PPN Negara ASEAN: Indonesia-Filipina Paling Tinggi, Brunei 0%
[Gambas:Video 20detik]
(shc/hns)