Jakarta –
Industri telekomunikasi dapat menjadi faktor enabler dalam menciptakan pertumbuhan sekaligus pemerataan ekonomi, pemberdayaan di berbagai bidang, serta peningkatan jangkauan dan kualitas layanan publik. Salah satunya melalui penerapan jaringan 5G.
Di Indonesia jaringan 5G hadir secara komersil pada 2021 lalu. Mengutip Komdigi, jaringan 5G perdana berbasis teknologi IMT-2020 (International Mobile Telecommunications-2020) pada pita frekuensi 2.300 MHz atau 2,3 GHz. Sayangnya hingga saat ini cakupannya masih sebatas di kota-kota besar.
Jika dibandingkan Singapura, penyebaran jaringan 5G di Indonesia cukup tertinggal. Data OpenSignal pada 2024, tingkat 5G Availability di Indonesia baru 1,5% dengan skor 5G Coverage Experience 0,1 sedangkan Singapura mencapai 35,9% dengan skor 5G Coverage Experience 9.0.
Soal kecepatan unduh, Indonesia juga tertinggal jauh dengan Singapura. OpenSignal mengungkap kecepatan unduh jaringan 5G di Tanah Air sebesar 54,6 Mbps. Sementara Singapura mencapai 285 Mbps.
Dikutip dari Kementerian Pembangunan dan Informasi Digital Singapura, kontribusi ekonomi digital sebesar $106 miliar atau 17% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Singapura pada tahun 2022, meningkat dari 13% pada tahun 2017. Hal ini menandai bahwa jaringan internet cepat telah mendukung pertumbuhan ekonomi Singapura.
Salah satu contohnya adalah pemanfaatan jaringan 5G di pelabuhan. Melalui operator selular Singtel yang berkolaborasi dengan Ericsson, Singapura memanfaatkan konektivitas canggih 5G di Pelabuhan Tuas. Jaringan 5G digunakan untuk mendukung rencana perusahaan peti kemas Singapura PSA dalam membangun pelabuhan otomatis sepenuhnya dan terbesar di dunia kisaran tahun 2040. Hal ini guna memenuhi permintaan transshipment global yang meningkat pesat.
Selama tiga tahun ke depan, PSA juga akan mengeksplorasi aplikasi 5G di berbagai bidang seperti pemeliharaan prediktif yang melibatkan pengawasan berbasis drone dan aplikasi realitas yang diperluas untuk mendeteksi potensi masalah lebih awal dan mencegah kegagalan peralatan. Hal ini dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi waktu henti yang mahal.
Hingga Oktober 2024, PSA Singapura telah menangani 34,1 juta kargo-salah satu yang tersibuk di dunia. Mulai tahun 2025, dengan dukungan jaringan 5G Singtel, AGV tanpa pengemudi milik PSA akan mampu mengangkut kontainer secara mandiri, sehingga mengoptimalkan operasi lapangan dan mengurangi biaya tenaga kerja.
Jaringan 5G akan menjadi pendorong bagi PSA untuk mencapai kapasitas penanganan tahunan sebesar 65 juta TEUs (twenty-foot equivalent units), hampir dua kali lipat dari permintaan saat ini, ketika Pelabuhan Tuas rampung sepenuhnya.
Monetisasi 5G
Salah satu kelebihan 5G yang utama adalah monetisasi yang akan dirasakan langsung oleh operator dan pebisnis. Monetisasi 5G tidak hanya sebatas menjual konektivitas, tetapi juga membuka peluang baru bagi operator dan pelaku bisnis untuk mengoptimalkan operasional, mengurangi biaya, serta meningkatkan efisiensi.
Dengan kecepatan tinggi dan latensi rendah, 5G memungkinkan penggunaan teknologi seperti automated guided vehicles (AGVs) dan robot otonom di pabrik maupun gudang, yang dapat dikendalikan secara real-time melalui jaringan 5G. Pemanfaatan teknologi ini tidak hanya mengurangi risiko human error, tetapi juga meningkatkan produktivitas dan efisiensi operasional secara signifikan.
Untuk memenuhi kebutuhan bisnis yang terus berkembang dan bekerja sama dengan berbagai mitra serta model bisnis baru, diperlukan sistem yang lebih akurat. Hal ini penting agar transaksi antar perusahaan dan mitra dalam rantai bisnis berjalan lancar, terutama dalam penggunaan 5G untuk perusahaan.
Publikasi terbaru dari Ericsson (NASDAQ: ERIC) dalam laporan Mobility Report yang berfokus pada monetisasi 5G, mengidentifikasi empat area peluang yang dimanfaatkan oleh penyedia layanan komunikasi di seluruh dunia untuk mendorong pertumbuhan bisnis.
Laporan yang diberi nama Business Review 2024 ini merupakan edisi khusus kedua dari Ericsson Mobility Report yang telah ada sebelumnya. Di dalamnya, dibahas bagaimana penyedia layanan komunikasi (CSP) berkembang atau berupaya berkembang dalam hal penawaran layanan, pemanfaatan peluang pendapatan baru, serta transformasi bisnis mereka.
Ericsson Mobility Report Business Review 2024 menunjukkan bahwa penyedia layman komunikasi di seluruh dunia saat ini menawarkan atau mengeksplor layman dan model go-to- market ke berbagai tingkat keterlibatan dan kematangan di empat area.
Keempat area tersebut adalah:
1. Enhanced Mobile Broadband (eMBB): teknologi ini menghadirkan transmisi data dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dengan versi yang lebih unggul dan efisien dari broadband seluler 4G.
eMBB dapat menjadikan operasi jaringan lebih efisien dengan kapasitas hingga 10 kali lebih banyak. Sehingga meningkatkan efisiensi energi lebih dari 30 persen dibandingkan dengan 4G.
2. Peluang Fixed Wireless Access (FWA) dan Wireless WAN: Layanan broadband nirkabel berkecepatan tinggi ini menargetkan segmen perumahan dan bisnis, membuka berbagai peluang bagi penyedia layanan dengan rata-rata pendapatan per pengguna (ARPU) yang lebih tinggi dibandingkan broadband seluler konvensional. Menurut laporan ini, Fixed Wireless Access (FWA) menyumbang sekitar 20-25 persen dari pertumbuhan pendapatan saat ini.
3. Peluang solusi konektivitas yang berbeda: Termasuk di dalamnya adalah peluang untuk membangun jaringan privat bagi perusahaan atau memanfaatkan pembagian jaringan dari 5G Standalone (SA) publik guna menawarkan layanan yang lebih beragam bagi konsumen maupun bisnis. Perkembangan peluang ini semakin diperkuat oleh fakta bahwa secara global, lebih dari 40 penyedia layanan telah memulai penggelaran jaringan 5G Standalone (SA).
4. Mendorong inovasi dan pertumbuhan ekosistem: Salah satunya adalah jaringan yang dapat diprogram (jaringan API), yang membuka peluang baru bagi pengembang aplikasi untuk berinovasi dalam skala besar. API ini juga memberikan insentif finansial bagi penyedia layanan, berupa diskon sebesar 10-30 persen yang mereka peroleh saat membeli atau menyediakan langganan aplikasi dalam jumlah besar.
5G di Indonesia
Meski jaringan 5G telah hadir sejak 2021, penerapan teknologi ini masih belum secara massif dimanfaatkan. Padahal jika betul-betul diterapkan, Asosiasi Penyelenggara Jasa Telekomunikasi Indonesia (ATSI) memperkirakan nilai bisnis 5G di Tanah Air mampu mencapai Rp 27 triliun per tahun.
Prediksi tersebut pun diperkuat dengan riset dari AT Kearney pada 2019 lalu yang menyebut monetisasi 5G oleh operator di dalam negeri dapat mencapai USD1,83 juta pada 2025.
Namun, sayangnya saat ini masih ada 57 juta warga Indonesia yang belum memiliki akses internet berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2024. Menurut OpenSignal, Indonesia tertinggal dari negara-negara tetangganya dalam hal Ketersediaan 5G, terutama karena kurangnya akses ke pita spektrum 5G utama seperti pita 3,5GHz.
Saat ini ketersediaan jaringan 5G baru sebatas di kota-kota besar seperti Jabodetabek, Bandung, Batam, Surabaya, Balikpapan, Makassar, Surakarta, Denpasar, dan Medan. Perluasan jaringan 5G saat ini masih menemui beberapa kendala, salah satunya ketersediaan spektrum yang saat ini masih dalam proses lelang, sehingga operator selular belum bisa memperluas cakupannya.
Sebagai informasi, saat ini pemerintah tengah melelang frekuensi 1,4 GHz yang dapat digunakan untuk Fixed Wireless Access (FWA) 5G. Lelang frekuensi ini nantinya diharapkan Komdigi dapat menggenjot kecepatan internet fixed broadband di daerah yang sampai saat ini masih menjadi pekerjaan rumah. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengungkapkan sudah ada tujuh penyelenggara telekomunikasi yang menyatakan minat terhadap lelang frekuensi 1,4 GHz.
Selain pita frekuensi 1,4 GHz, pemerintah juga sedang merencanakan untuk lelang pita frekuensi 700MHz, 2,6 GHz, dan 26 GHz. Hal tersebut dilakukan agar masyarakat bisa merasakan manfaat penuh dari teknologi 5G secara merata.
Terkait skema, Komdigi masih menimbang antara menerapkan dengan cara lelang alias penawaran dengan harga tertinggi atau beauty contest yakni penawaran berdasarkan proposal terbaik terkait komitmen pembangunan ke depannya.
Jika lelang ini kembali tertunda, Indonesia akan semakin kehilangan peluang untuk meraup manfaat ekonomi dari teknologi 5G. Menurut laporan Global System for Mobile Communications Association (GSMA), Indonesia berisiko mengalami potensi kerugian hingga Rp 216 triliun pada 2030 akibat tingginya biaya spektrum.
Mengutip Antara, laporan GSMA pada 2023 menguraikan bahwa sejak 2010 perkiraan biaya total spektrum tahunan bagi operator seluler di Indonesia meningkat lebih dari lima kali lipat. Hal itu disebabkan biaya yang berkaitan dengan pelelangan dan biaya spektrum frekuensi terkait perpanjangan perizinan.
Adapun rasio biaya frekuensi tahunan dengan pendapatan operator seluler di Indonesia pada 2023 berada di taraf 12,2 persen, melampaui rata-rata rasio di negara kawasan Asia Pasifik sebesar 8,7 persen maupun secara global yang rata-ratanya ada pada 7 persen. Sebagai pemimpin global di industri ICT, Ericsson terus berkomitmen untuk menghadirkan inovasi yang dapat memanfaatkan spektrum secara lebih efisien.
Pada pagelaran MWC 2025, Ericsson memperkenalkan salah satu teknologinya yaitu 5G Advanced, teknologi yang memungkinkan operator meningkatkan kapasitas jaringan secara signifikan dengan efisiensi energi yang lebih tinggi.
Selain itu, pemanfaatan AI dalam otomatisasi jaringan menjadi fokus utama. Dengan teknologi ini, operator dapat mengelola spektrum secara lebih efisien, mengoptimalkan lalu lintas jaringan, dan meningkatkan pengalaman pengguna secara keseluruhan.
Dukungan Ericsson untuk Transformasi Digital di Indonesia
Head of Ericsson Southeast Asia Oceania and India Andres Vicente dalam agenda Mobile World Congress (MWC) 2025, mengatakan teknologi 5G diyakini bisa membantu industri telko di Indonesia. Pihaknya siap membawa teknologi terbaru untuk 5G Advanced, otomasi jaringan oleh AI dan solusi network teranyar.
“Untuk Indonesia, inovasi ini penting untuk memperluas jangkauan 5G, mendorong digitalisasi industri dan mendukung visi pemerintah,” kata Andres.
“Mungkin ada yang butuh keamanan, latensi rendah, bandwidth tinggi. Jadi semua terkoneksi tapi sesuai kebutuhannya,” sambungnya.
Ericsson mendorong 4 hal yang bisa menjadi monetasi alias sumber cuan. Yang pertama adalah Enhanced Mobile Broadband (eMBB) yang bisa memberikan kapasitas 10 kali lipat dan hemat energi dan biaya. Yang kedua adalah diferensiasi Fixed Wireless Access (FWA) dan Wireless WAN yang menyasar konsumen di rumah-rumah atau pelaku usaha.
Yang ketiga adalah diferensiasi dari solusi konektivitas, dikustomisasi sesuai kebutuhan konsumen dan kemampuan operator. Yang keempat adalah Network API, yang membuat developer bisa membuat layanan aplikasi baru dan mencari keuntungan di sana.
“Sektor-sektor strategis seperti pertahanan, keselamatan publik, perkeretaapian, dan utilitas memerlukan jaminan bahwa layanan mereka akan selalu berfungsi dengan baik. Mereka harus memiliki ketahanan tinggi dan siap menghadapi berbagai situasi darurat. Ini bukan hanya area pertumbuhan, tetapi juga peluang monetisasi yang kuat bagi para operator,” kata Andres.
Lebih dari sebatas infrastruktur, operator juga harus jeli menawarkan solusi enterprise, private network, layanan 5G premium, pabrik cerdas, logistik dipandu AI, AR/VR dll.
“Salah satu model monetisasi yang cocok untuk bisnis di Indonesia adalah visualize access, di mana perusahaan dapat memperluas skala bisnisnya dengan menggandakan basis pelanggan. Di India, model ini telah terbukti efektif, dengan 40% dari pelanggan baru berasal dari visualize access,” ujar Andres.
Sebelumnya Ericsson juga mendukung penerapan 5G di Indonesia melalui penyediaan layanan siaran langsung secara standalone (SA) dan pembagian jaringan (network slicing) yang bekerja sama dengan operator Telkomsel dalam perayaan HUT ke-79 Indonesia di Ibu Kota Nusantara (IKN). Ini merupakan perayaan HUT RI pertama yang disiarkan secara langsung dari IKN.
Kemampuan 5G SA yang dikombinasikan dengan network exposure, otomatisasi, edge computing, dan pembagian jaringan (network slicing) telah meningkatkan standar layanan 5G. Teknologi ini memungkinkan jaringan menjadi lebih fleksibel, memungkinkan pemisahan penggunaan data dan menyediakan konektivitas dengan kualitas yang terjamin.
Kolaborasi Kunci Sukses Penerapan 5G di Indonesia
Untuk memastikan teknologi 5G memberikan manfaat yang optimal, diperlukan kerja sama yang erat antara berbagai pemangku kepentingan. Operator telekomunikasi bertanggung jawab dalam membangun dan mengembangkan infrastruktur jaringan, sementara pemerintah memiliki peran penting dalam menciptakan regulasi yang mendukung, mempercepat ketersediaan spektrum, serta memberikan insentif untuk lelang frekuensi 5G bagi operator selular.
“Pemerintah berperan penting dalam percepatan 5G, terutama dalam alokasi spektrum dan dukungan ekspansi jaringan agar layanan berkualitas bisa menjangkau seluruh wilayah, termasuk pedesaan,” ujar Andres.
Di sisi lain, penyedia teknologi seperti Ericsson berkontribusi dengan menghadirkan inovasi, solusi teknis, dan perangkat yang mendukung implementasi jaringan 5G secara efisien. Sebagai pemimpin ICT global yang memiliki komitmen untuk mendorong konektivitas global tanpa batas, Ericsson hadir untuk menyediakan teknologi mutakhir. Sinergi antara ketiga pihak ini akan mempercepat adopsi 5G, meningkatkan kualitas layanan, serta membuka peluang baru dalam berbagai sektor.
“Ketika jaringan 5G semakin terbuka dan dapat diprogram, kita akan melihat berbagai inovasi dan layanan baru bermunculan. Dengan kerja sama antara operator, penyedia teknologi, dan ekosistem digital, 5G bukan hanya soal konektivitas, tetapi juga tentang menciptakan nilai baru bagi industri dan masyarakat,” tambah Andres.