Jakarta –
Kostum defile opening ceremony Olimpiade 2024 untuk atlet Indonesia merujuk pakaian adat Jawa. Desainer Didit Hediprasetyo menyebut terinspirasi Raden Saleh, siapakah sosok itu?
Pakaian itu dirilis lewat Instagram @timindonesiaofficial pada Jumat (26/7/2024). Kostum atlet pria beskap denim dipadu celana putih, sedangkan untuk atlet putri kebaya kutubaru merah dipasangkan dengan celana putih.
“Desain terinspirasi dari sosok Raden Saleh, pelukis pionir beraliran Romantisme asal Jawa. Perjalanannya dari Jawa Tengah sampai ke istana-istana Eropa pada abad ke-19 mencerminkan kebangkitan bangsa Indonesia di kancah internasional yang kini menghiasi dinding Rijksmuseum dan Louvre,” begitulah keterangan dalam Instagram itu.
Sementara itu, Didit mengatakan kostum tersebut menjadi perwujudan kebanggaan, semangat, dan ketangguhan bangsa Indonesia. “Sekaligus memastikan bahwa setiap atlet muncul dan menjadi diri mereka yang terbaik saat berkompetisi di panggung dunia,” kata Didit.
Siapa Raden Saleh? Dan, adakah hubungannya dengan kebangkitan indonesia?
Dikutip dari laman Kemendikbud, Jumat (26/7/2024) Raden Saleh Sjarief Bustaman (1811-1880) adalah bumiputra Jawa pertama yang mendapatkan privilese untuk belajar melukis di Eropa atas beasiswa pemerintah Belanda. Sejumlah penulis dan peneliti menyebutnya sebagai ‘manusia modern’ Jawa pertama yang memiliki pola pikir ala Barat.
Dia menghabiskan 25 tahun masa hidupnya di Eropa (Belanda, Jerman, Prancis, Italia, Inggris) dalam pergaulan di kalangan elit aristrokat dan intelektual. Selain pelukis, Raden Saleh juga dikenal sebagai kolektor dokumen etnografi dan arkeologi, arsitek, paleontolog, perancang pertamanan, pendiri berbagai taman marga satwa, serta perancang busana.
Biodata singkat
Raden Saleh lahir pada 1811 di Terboyo, Semarang dalam keluarga Jawa ningrat keturunan Arab. Ayahnya bernama Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal bin Jahja, seorang keturunan Arab, sedangkan ibunya bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen. Saleh wafat di Bogor pada 23 April 1880.
Sejak kecil, Raden Saleh telah dididik pamannya yang saat itu menjabat sebagai Bupati Semarang, Raden Adipati Sura-adimanggala. Di rumah pamannya inilah minat Raden Saleh kepada kesenian tumbuh.
Pada tahun 1819, Gubernur Jenderal van der Capellen mengajak Raden Saleh muda ke Bogor dan diantarkan kepada Professor Caspar Georg Carl Reinwardt untuk kemudian dititipkan pada pelukis Auguste Antoine Joseph Payen. Teknik melukisnya yang baik membuatnya kemudian tergabung bersama Payen dalam tugas penelitian Professor Reinwardt sepanjang 1819-1822.
Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro (Raden Saleh/1857) Foto: Dok. Pameran Lukisan Istana Kepresidenan
|
Kehidupan Raden Saleh berubah drastis saat meletusnya Perang Jawa pada tahun 1825. Pamannya ditangkap Belanda. Dia pun memutuskan tidak kembali ke Semarang, namun tinggal di Cianjur. Saat itu, dia diterima di dinas administrasi rendah pemerintah kolonial Belanda.
Saleh, yang tumbuh mendambakan hidup di tengah peradaban Eropa, berhasil mewujudkan impian pada 1829. Dia menerima tawaran berangkat ke Belanda untuk bekerja pada Jean Baptiste de Linge, sekretaris keuangan pemerintahan kolonial Belanda.
Setibanya di Antwerpen, Raja Belanda menyetujui beasiswa untuk Raden Saleh selama dua tahun, yang kemudian beberapa kali diperpanjang.
Di Den Haag, Raden Saleh belajar pada Cornelius Kruseman (1797-1857), pelukis potret dan lukisan sejarah, serta Andreas Schelfhout (1787-1870), pelukis pemandangan alam. Ia kemudian berpindah dari kota ke kota di Eropa seperti Duesseldorf, Frankfurt, Berlin, Dresden, Coburg dan berakhir di Paris.
Saat itulah ia meraih pencapaian tertingginya ketika lukisannya Berburu Rusa di Jawa diikutsertakan pada Pameran Salon tahun 1847 dan dibeli oleh Raja Louis Phillippe. Raden Saleh kembali ke Jawa pada tahun 1851 dan sempat kembali berkunjung ke Eropa pada tahun 1870.
Ciri khas karya Raden Saleh
Raden Saleh dalam sepanjang karirnya mengerjakan karya lukisan potret, pemandangan alam, dan tema-tema Romantik seperti perburuan binatang, badai di lautan, dan bencana alam.
Karya-karyanya juga menyangkut kehidupan manusia dan binatang yang bergulat dalam tragedi. Walaupun berada dalam bingkai Romantisisme, namun tema-tema karya lukisannya bervariasi dan dramatis.
Meskipun demikian, Raden Saleh belum sadar (sepenuhnya) berjuang menciptakan seni lukis Indonesia. Padahal, karyanya menjadi inspiratif bagi seluruh lapisan masyarakat, lebih-lebih bagi kaum terpelajar pribumi yang sedang bangkit nasionalismenya.
Semasa hidupnya Raden Saleh memiliki beberapa murid, di antaranya adalah Raden Salikin (putra dari saudara sepupu lelakinya), Raden Koesomadibrata dan Raden Mangkoe Mihardjo (keduanya adalah anak muda Sunda keturunan bangsawan).
Karya lukisan cat minyak Raden Koesoemadibrata dikoleksi oleh Tropenmuseum Amsterdam berupa potret Raden Wangsajuda, patih dari Bandung dan potret Raden Adipati Aria Kusumadiningrat, Bupati Galuh.
Kemudian, 21 lembar karya litografi Raden Mangkoe Mihardjo pernah dipamerkan pada Internationale Koloniale en Uitvoerhandel Tentoonstelling tahun 1883 di Amsterdam. Belakangan, Raden Soma dan Lie Kim Hok juga untuk beberapa waktu sempat menjadi murid Raden Saleh.
Karya Raden Saleh
Satu-satunya lukisan historis yang diciptakan sekaligus merupakan karya utama dari Raden Saleh adalah Penangkapan Pangeran Diponegoro (1957). Karya lainnya yang sering disinggung dalam literatur adalah Banjir di Jawa (1862) yang terinspirasi dari Rakit Medusa (1818) karya Theodore Gericault.
Karya-karya Raden Saleh dikoleksi oleh kolektor dan museum terpandang di Eropa hingga Amerika seperti Museum Louvre di Perancis, Rijksmuseum di Belanda, dan Smithsonian American Art Museum di Amerika Serikat. Galeri Nasional Indonesia juga memiliki koleksi beberapa karya Raden Saleh, salah satunya adalah Kapal Karam Dilanda Badai (c. 1840).
Dikutip dari detikedu, ciri romantisme yang muncul di dalam lukisan-lukisan Raden Saleh yang mengandung paradoks. Misalnya, gambaran keagungan sekaligus kekejaman, cerminan harapan (religiusitas), dan ketidakpastian takdir (dalam realitas).
Melalui karyanya ia menyindir nafsu manusia yang terus mengusik makhluk lain, seperti kebiasaan berburu hewan. Di samping itu, Raden Saleh juga mengusung gagasan tentang kemerdekaan dan kebebasan, kemerdekaan, serta menentang penindasan dalam karya-karyanya. Salah satunya terwujud dalam lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro pada tahun 1857.
Lukisan potret Raden Saleh karya Johann Karl Ulrich Bähr: “Portrait of Prinz Raden Saleh Syarif Bustaman”,1842 Foto: Istimewa
|
Buku Ajar Sejarah Seni Rupa Nusantara oleh Yofita Sandra mengatakan lukisan ini semula dipersembahkan Saleh kepada Raja Willem III, namun pada tahun 1978 kembali dibawa pulang oleh Indonesia.
Berkat karya-karyanya, Raden Saleh juga dianugerahi banyak penghargaan, baik oleh Belanda maupun Indonesia.
Dari Belanda di antaranya seperti bintang Ridder der Order van Eikenkoon (REK), Commandeur met de ster der Frans Joseph Orde (CFJO), Ridder der Koonorde van Pruisen (RKP), dan Ridder van de Witte Valk
Adapun, penghargaan dari Pemerintahan Indonesia diberikan 1969 lewat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan secara anumerta berupa Piagam Anugrah Seni sebagai Perintis Seni Lukis di Indonesia.
(sym/sym)