
Jakarta –
Tradisi Dugderan di Semarang yang telah ada sejak tahun 1881 ini digelar sebagai penyambutan bulan suci Ramadan. Tradisi itu sudah ada sejak tahun 1881.
Proses dimulai dari Balai Kota Semarang. Wali Kota Semarang, Agustina Wilujeng Pramestuti, yang tampil mengenakan pakaian Semarang tampak menunggangi kereta kuda dan berperan sebagai Kanjeng Mas Ayu Tumenggung Purbodiningrum.
Ia kemudian diikuti rombongan kirab yang merupakan jajaran Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Kota Semarang, perwakilan masing-masing kecamatan, perwakilan berbagai komunitas lintas etnis, organisasi masyarakat (ormas) hingga siswa-siswi sekolah.
Rombongan itu diawali prajurit Patang Puluhan, termasuk prajurit berkuda yang melintas dengan gagah. Mereka kompak berjalan dari Balai Kota Semarang menuju Masjid Agung Semarang, Kelurahan Kauman, Kecamatan Semarang.
Setibanya di Masjid Agung Semarang, prosesi pembacaan Suhuf Halaqah dilakukan di Aloon-aloon Semarang depan Masjid Agung Semarang. Agustina membacakan lembaran suhuf halaqah tersebut dan membunyikan bedug yang langsung disambut meriah warga.
“Dugderan itu kita ingin mengulang atau semacam rekonstruksi budaya yang terjadi pada tahun 1881. Jadi pada waktu itu di Semarang kan seperti kita ketahui ada penetapan awal Ramadan itu berdasarkan hasil rukyat,” kata Sekretaris Ketakmiran Masjid Agung Semarang, Muhaimin, di Masjid Agung, dikutip dari detikJateng (1/3/2025).
Ia menjelaskan, prosesi yang dimulai sejak 1881 diinisiasi Bupati Semarang, Tumenggung Aryo Purboningrat. Tumenggung Aryo menginisiasi metode rukyat yang lebih terkoordinasi.
“Tumenggung Aryo Purboningrat, Bupati Semarang waktu itu, punya inisiatif mengutus utusan khusus untuk melakukan rukyatulhilal melihat bulan. Itu dilaksanakan pada tanggal 29 Syaban,” jelas Muhaimin.
“29 Syaban itu batas rukyah tadi, kalau rukyat sore nanti ini kelihatan ya, berarti sudah masuk ke bulan Ramadan. Kalau nanti belum kelihatan berarti istikmal dijadikan sebagai 30 hari, jadi nanti ada tanggal 30 Syaban,” lanjutnya.
Suasana pembagian kue ganjel rel pada saat tradisi Dugderan di Masjid Agung, Kota Semarang. (Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng)
|
Jika hilal terlihat, kata Muhaimin, maka awal Ramadan akan diumumkan dengan bunyi beduk di Masjid Agung yang memunculkan bunyi ‘dug’ dan tembakan meriam yang berbunyi ‘der’ di Kanjengan yang merupakan kantor Bupati saat itu.
“Di masjid ini dibunyikan beduk, dug, dug. Dulu Kabupaten Semarang itu ada di Kanjengan, tempatnya Kanjeng Bupati. Di Kanjengan dibunyikan bunyi meriam, der, der. Di masjid sini ‘dug’ di Kanjengan ‘der’. Maka dug, der, dug, der, jadilah sebuah akronim nama Dugderan,” paparnya.
Tradisi Dugderan yang kemudian selalu dilakukan tiap tahunnya itu juga bertujuan mengumpulkan orang agar pengumuman penetapan Ramadan bisa tersiarkan oleh seluruh masyarakat.
“Maka orang sudah kumpul semua di alun-alun untuk mendengarkan Bupati menyampaikan hasil rukyat yang kita sebut Suhuf Halaqah tadi. Ketika sudah diumumkan berarti sudah masuk bulan Ramadan,” jelasnya.
Usai beduk dibunyikan, gunungan yang berisi kue ganjel rel pun langsung dibagikan ke warga yang hadir. Warga dengan antusias langsung rela berdesakan demi mendapat kue berwarna coklat yang bertabur wijen itu.
“Kue yang kita bagikan tahun ini 5 ribu. Biasanya kita bagikan 8-10 ribu, tapi sekarang kita bagikan 5 ribu dan air khataman Al-Qur’an yang sudah kita dibacakan 30 juz, dua khataman secara hafalan, hari Rabu kemarin,” paparnya.
“Kalau ganjel rel ini filosofinya, ganjel rel itu dari kata ‘ganjel’ dan ‘rel’. Kalau kita masuk ke puasa, hati jangan ganjel, tapi rela, menerima dengan baik,” lanjutnya.
Muhaimin menuturkan tradisi itu pun menjadi sebuah kearifan lokal yang bukan hanya menjadi tradisi, akan tetapi juga warisan budaya yang terus dilestarikan sebagai bagian dari identitas Kota Semarang.
—–
Artikel ini telah tayang di detikJateng.
(upd/upd)