Flores Timur –
Di pedalaman Nusa Tenggara Timur (NTT), umat beragama hidup dengan rukun. Gereja dan masjid berdiri berdampingan selama puluhan tahun yang lalu.
Di tengah pulau Adonara, Flores Timur, gereja dan masjid berdiri secara berdampingan sebagai simbol kerukunan beragama yang telah dijaga selama puluhan tahun lamanya.
Lokasinya berada di Desa Pepakgeka, Kecamatan Kelubagolit. Masjid dan gereja itu telah dibangun berdampingan sejak 1970. Di tengah bangunan dua rumah ibadah itu, berdiri juga Balai Desa.
Bagi warga desa di sana, kerukunan umat beragama adalah inti kehidupan. Kehidupan di sana makin sejuk karena cuaca dingin dan tanah yang subur.
Masjid Al-Jihad dan Gereja Santo Mikhael adalah tempat ibadah berdiri berdampingan itu. Bagi umat dua agama, rumah ibadah bukan sekadar bangunan biasa, tetapi tempat saling berbagi, baik suka maupun duka.
Gerja dan masjid berdampingan di Desa Pepakgeka, Pulau Adonara, Flores Timur, NTT. Foto: Yurgo Purab/detikBali
|
Burhan Boro Bura, pria yang pernah menjadi Kepala Desa Pepakgeka periode 1981-1987 itu mengatakan, gereja dan masjid itu adalah milik semua penghuni kampung.
“Masjid dan gereja itu milik Lewotanah (kampung halaman),” ungkap pria 81 tahun itu, Kamis (11/4/).
Rahasia Kerukunan Beragama di Pepakgeka
Burhan membocorkan rahasia kerukunan di sana tetap terjaga. Warga desa meyakini dan memegang teguh prinsip tiga tungku dalam kehidupan sehari-hari.
Tiga tungku yang dimaksud adalah agama, pemerintah, dan adat. Ini menjadi dasar mereka hidup. Jangan sampai salah satu dari tiga tungku itu rusak, karena bisa merusak tatanan.
Perbedaan agama bukanlah halangan bagi warga desa untuk berbagi suka. Setiap kali ada perayaan, umat dua agama selalu berbagi.
Suka cita damai Natal tak hanya dinikmati umat Nasrani, begitu juga kemenangan Idul Fitri tak hanya dirayakan oleh umat Muslim. Mereka selalu berbagi suka bersama.
Petang kemarin, warga di sana menggelar halalbihalal Lebaran Idul Fitri 2024. Ratusan warga berkumpul di sebaung (balai pertemuan warga).
Lebaran kali ini sama seperti sebelum-sebelumnya. Banyak umat Katolik yang datang halalbihalal sembari membawa sesajian, kue dan minuman. Mereka larut dalam perayaan kemenangan bagi umat Islam.
Basir K Raya, yang juga mantan kades di sana mengatakan bahwa halalbihalal dan salam-salaman hari raya itu adalah warisan sejak puluhan tahun lalu. Tradisi itu terbentuk lewat sejarah yang panjang.
Pada tahun 1956, ada dua tokoh muslim, Muhammad Nur Hoyangdaeng dan Abdul Gani Ola Masan mendirikan SD Katolik Pepakgeka. Hoyangdaeng kemudian berteman dengan misionaris Belanda, Pater Hendrikus Van Der Huslt, lalu mereka mendirikan Gereja Santo Mikhael.
Lalu pada 1972, warga di sana bergotong royong membangun masjid. Bangunan masjid itu sempat rubuh, namun dibangun kembali pada 1982 dengan material yang lebih kokoh. Pembangunan masjid itu atas inisiatif para tokoh adat dan tokoh dua agama.
Tak jarang dari warga di sana, dalam satu keluarga ada dua agama. Desa tersebut berpenduduk hampir 70 persen beragama Katolik, selebihnya beragama Islam.
Namun mereka sebenarnya adalah satu, warga desa Pepakgeka yang penuh cinta dan kerukunan.
——-
Artikel ini telah naik di detikBali.
Simak Video “Potret Gereja dan Masjid di NTT yang Lokasinya Berdampingan“
[Gambas:Video 20detik]
(wsw/wsw)