Jakarta –
Bahan bakar minyak (BBM) yang beredar di Indonesia kebanyakan masih ‘kotor’. Ini lima rekomendasi untuk menanggulangi polusi udara.
Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga think tank di bidang energi terbarukan dan lingkungan, bersama Center of Reform on Economics (CORE Indonesia), Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), dan Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI) meluncurkan kajian “Analisis Dampak Kebijakan Pengetatan Standar Kualitas BBM pada Aspek Lingkungan, Kesehatan, dan Ekonomi.”
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menjelaskan bahwa sekitar 45 persen polusi udara di Jakarta berasal dari sektor transportasi. Fabby mengungkapkan bahwa mayoritas BBM di pasar Indonesia, seperti Pertalite dan Pertamax, memiliki kualitas rendah. Hal itu diindikasikan dari kandungan sulfur mencapai 150-400 ppm, jauh di atas standar Euro IV.
Untuk diketahui, sulfur merupakan komponen alami minyak mentah yang terdapat pada bensin dan diesel. Saat dibakar, sulfur menghasilkan emisi berupa sulfur dioksida (SO2). Untuk itu, Fabby mendorong penurunan kandungan sulfur dengan memperketat standar kualitas BBM, seperti menerapkan Euro IV yang membatasi sulfur maksimal 50 ppm.
“Polusi udara menyebabkan kerugian perekonomian yang meningkatkan biaya kesehatan, menurunkan produktivitas masyarakat dan kerusakan lingkungan.Berdasarkan laporan Bank Dunia, polusi udara di Indonesia mengurangi PDB negara sekitar US 220 miliar atau sekitar 6,6 persen per tahun.Jika ingin mencapai pertumbuhan ekonomi delapan persen, seperti yang dicita-citakan Presiden Prabowo, maka pemerintah perlu sungguh-sungguh mengatasi masalah polusi udara ini,” kata Fabby dikutip dari siaran persnya.
Kajian ini merekomendasikan lima upaya untuk meningkatkan kualitas udara dan menurunkan emisi di sektor transportasi.
Pertama, membuat kebijakan komprehensif dengan standar kualitas BBM yang lebih ketat. Kementerian ESDM perlu segera menerbitkan aturan spesifikasi bahan bakar kendaraan bermotor yang selaras dengan Permen LHK No. 20/2017, yang mensyaratkan spesifikasi bahan bakar untuk memenuhi kebutuhan teknologi mesin kendaraan Euro IV.
Kedua, pemerintah perlu menyusun regulasi dan peta jalan untuk pengetatan baku mutu emisi kendaraan bermotor lebih lanjut. Pengetatan ini, hingga standar Euro VI, akan mendukung daya saing industri otomotif di pasar global yang semakin mengutamakan standar emisi yang lebih ketat.
Ketiga, memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terkait implementasi standar Euro IV serta peningkatan edukasi masyarakat tentang pentingnya bahan bakar dan kendaraan rendah emisi.
Keempat, meningkatkan infrastruktur pengolahan dan distribusi bahan bakar minyak. Pertamina perlu berinvestasi guna meningkatkan kemampuan kilangnya, baik melalui kerja sama dengan badan usaha swasta lewat skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) maupun melalui penanaman modal negara (PMN). Selain itu, sekitar 30 persen BBM di pasar berasal dari impor, sehingga mengalihkan impor ke BBM yang memenuhi persyaratan Euro IV dapat menjadi solusi jangka pendek.
Kelima, mendorong penggunaan transportasi publik dan kendaraan ramah lingkungan serta manajemen lalu lintas berbasis eko-sensitif (eco-sensitive traffic management) untuk mengurangi emisi kendaraan melalui penerapan insentif dan disinsentif.
(rgr/dry)