Ciamis –
Perang melawan judi online sedang digalakkan. Ternyata, judi sudah jadi masalah sejak zaman baheula. Buktinya, bisa traveler lihat di prasasti ini.
Masalah perjudian zaman sekarang sudah amat gawat. Perbuatan haram ini banyak dilakukan oleh berbagai kalangan. Padahal perbuatan judi sangat dilarang baik secara agama, maupun budaya.
Bahkan, larangan berjudi juga diabadikan oleh leluhur masyarakat Ciamis dalam sebuah prasasti beberapa abad lalu, tepatnya pada masa pemerintahan Kerajaan Galuh.
Pepatah larangan berjudi itu tertulis jelas pada batu Prasasti ke VI yang ada di Situs Astana Gede Kawali. Pada prasasti itu tertulis dalam bahasa Sunda kuno yang berbunyi ‘ini petinggal nu atisti ayama nu ngisi daeyeuh ieu ulah botoh bisi kokoro’.
Artinya ini peninggalan dari yang astiti dari rasa yang ada, yang menghuni kota ini jangan berjudi bisa sengsara.
Enno, Budayawan Kawali yang juga petugas Situs Astana Gede Kawali menerangkan, prasasti VI Kawali merupakan prasasti yang ditemukan terakhir dan terbaru pada tahun 1995 oleh juru pelihara waktu itu.
“Baru Prasasti itu dari batu andesit. Uniknya ada dua poin yang menjadi informasi penting,” ujar Enno, Sabtu (22/6/2024) akhir pekan lalu.
Poin pertama di prasasti VI menginformasikan adanya simbol kembang Cakra. Simbol itu yang kini digunakan oleh para ASN Pemkab Ciamis. Pada prasasti tersebut, pagaran kembang Cakra sudah sangat rapi dan jelas.
Poin kedua adalah tulisan tentang larangan berjudi dari Raja Galuh saat itu, yaitu Prabu Niskala Wastu Kancana pada tahun 1371.
Dalam prasasti itu, Prabu Niskala Wastu Kancana menekankan dalam aturannya masyarakat Sunda dan Galuh dilarang berperilaku yang berhubungan dengan judi.
“Kalimat ini petinggal ulah botoh bisi kolor. Ini peninggalan dari para leluhur yang punya pengetahuan tinggi bijak. Jadi siapapun menghuni negeri ini Galuh jangan berjudi bisa sengsara,” ungkapnya.
Enno menjelaskan penekanan botoh di kalimat dalam prasasti itu adalah judi. Namun secara umum botoh dalam bahasa Sunda kaganga berarti keserakahan. Namun dikaitkan dengan peristiwa yang pernah terjadi di Kerajaan Galuh, maka botoh di sini berarti judi.
Konon pada waktu itu, di Kerajaan Galuh terdapat peristiwa yang membuat leluhur Galuh trauma dan tidak ingin terjadi lagi. Pada zaman Ciung Wanara, di Kerajaan Galuh terjadi peperangan saudara yang hampir membuat Galuh mengalami krisis.
“Terjadi perang saudara karena adanya judi sabung ayam, karena yang dipertaruhkannya itu Kerajaan, tidak tanggung-tanggung,” ungkapnya.
Raja Galuh Prabu Niskala Wastu Kancana tidak ingin peristiwa itu kembali terjadi. Ia pun membuat aturan yang dituliskan dalam prasasti dengan menekankan untuk tidak melakukan yang berhubungan dengan judi atau keserakahan.
“Perbuatan maksiat itu diawali dari unsur keserakahan termasuk judi,” tegasnya.
Enno juga menyebut, pada saat pemerintahan Prabu Niskala Wastu Kancana merupakan masa keemasan Kerajaan Galuh.
“Leluhur kita, leluhur Galuh sudah mencontohkan dan sudah tahu namanya botoh atau judi ini pasti terus terjadi. Masyarakat Sunda diingatkan untuk tidak melakukan itu. Dicontohkan dengan legenda Ciung Wanara, yang seorang raja pun tidak kuat (dengan judi),” pungkasnya.
——-
Artikel ini telah naik di detikJabar.
(wsw/wsw)