Jakarta –
Singapura merupakan salah satu negara maju yang menyediakan beragam pilihan pekerjaan. Namun, ternyata ada sebuah pekerjaan yang dihindari oleh masyarakat Singapura, yakni bekerja di gerai pinggir jalan atau kaki lima.
Salah satu pemilik gerai Wok AI, Ang Chip Hong mengaku tidak ada yang mau melamar pekerjaan sebagai koki di kedainya. Putus asa, Ang pun membeli robot dari China sebagai penggantinya.
Ang menilai masyarakat Singapura tidak berminat untuk bekerja di gerai kaki lima. Menurut Ang, penghasilan yang diterima tidak sepadan dengan jam dan beban kerja.
“Orang Singapura tidak menginginkan pekerjaan ini. Tidak sepadan bagi mereka mendapatkan gaji sebesar 4.000 dolar Singapura (Rp 48 juta) per bulan dengan jam kerja yang panjang di depan kompor panas,” kata Ang dikutip dari South China Morning Post, Sabtu (25/1/2025).
Kondisi itu berbeda dengan pekerjaan di kantoran. Ang menjelaskan copywriter di Singapura bergaji 3.000 dolar Singapura atau setara Rp 36 juta (kurs Rp 12.000) tanpa harus berpanas-panasan.
Selain itu, Ang juga menyebut ada kebijakan dari pemerintah Singapura yang semakin mempersulit pedagang. Badan Lingkungan Nasional (NEA) mewajibkan pegawai gerai kaki lima harus merupakan warga negara Singapura.
Kebijakan tersebut diberlakukan untuk tetap mempertahankan identitas lokal. Namun, sejak 1 Januari lalu, beberapa orang dengan visa jangka panjang kini dapat bekerja sebagai staf di gerai kaki lima.
Perjuangan Ang untuk mencari staf lokal merupakan hal yang umum di antara 35 pedagang kaki lima. Mereka mengklaim kesulitan mencari staf telah lama mengganggu budaya pedagang kaki lima. Banyak yang telah menghabiskan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun untuk mencari staf penuh waktu.
Mengatasi hal itu, beberapa pedagang mempekerjakan seseorang yang mempunyai izin visa panjang. Eric Chan, Pengelola Nasi Lemak Aneka Mee di Ayer Rajah Food Centre, telah mencari staf penuh waktu selama tiga hingga empat bulan. Namun, tidak ada yang bisa bertahan lama bekerja di tempatnya.
“Saya pernah menerima orang yang datang selama dua hari dan kemudian tidak muncul keesokan harinya. [Pekerjaan itu] berlangsung dari pagi hingga malam, jadi tidak banyak yang mau bekerja setelah mencobanya,” imbuh Chan.
Di sisi lain, budaya pedagang kaki lima ini juga tengah menghadapi tantangan, yakni penerus usaha. Banyak dari pedagang kaki lima yang enggan meneruskan usahanya kepada anak-anak mereka.
Seperti, Syed Ibrahim, penjual generasi ketiga yang telah menjalankan Ibrahim Mee Stall di Adam Road Food Centre selama lebih dari 30 tahun. Dia enggan putranya mengambil alih bisnis tersebut.
“Anak saya kuliah di jurusan teknik kedirgantaraan NTU (Nanyang Technological University). Jadi saya tidak ingin dia datang ke sini untuk bekerja. “Kita lihat saja nanti bagaimana keadaannya setelah saya pensiun,” ujar Syed.
(fdl/fdl)