
Nias –
Tradisi berburu kepala manusia ternyata tidak hanya ada di suku Dayak saja. Di Kepulauan Nias juga mengenal tradisi berburu kepala yang disebut Mangai Binu.
Tradisi Ngayau atau berburu kepala manusia di kalangan orang Dayak juga dikenal oleh masyarakat suku Nias. Tradisi serupa Ngayau dikenal di Nias dengan nama Mangai Binu.
Tradisi Mangai Binu dilakukan secara turun temurun oleh suku Nias yang bermukim di Kepulauan Nias. Tradisi ini dilakukan jauh sebelum agama masuk ke wilayah tersebut.
Secara bahasa, mangai berarti mengambil, sedangkan binu diartikan sebagai kepala manusia hasil buruan. Ada istilah lain bagi orang Nias untuk menamakan tradisi ini, yakni mangai hogo, hogo merupakan istilah untuk kepala manusia.
Orang yang melakukan Mangai Binu ini disebut emali yang berarti ‘berteriak dalam ketakutan’. Konon, tradisi lompat batu di Nias juga menjadi salah satu sarana latihan sebelum melakukan perburuan kepala ini.
Dilansir dari situs Kemendikbud, tradisi berburu kepala manusia ini dilakukan oleh kaum laki-laki yang merupakan prajurit pilihan, karena dianggap telah memenuhi standar kelayakan.
Kepala manusia yang diburu dalam tradisi ini kemudian akan dijadikan sebagai tumbal dan dimanfaatkan untuk keperluan ritual tertentu di suku Nias.
Binu yang baik adalah bagian tubuh manusia yang dipenggal secara diagonal, dari pangkal leher bagian kiri menuju ke arah ketiak kanan.
Tujuannya agar kepala yang sudah diperoleh mudah untuk dibawa, khususnya ketika seorang emali lari dari kejaran penduduk desa yang warganya menjadi korban.
Perburuan binu ada bermacam ragam, dua diantaranya dengan cara sembunyi-sembunyi dan dengan mengumumkan perang terlebih dahulu. Masyarakat Nias memang terkenal gemar berperang pada zaman dulunya.
Binu yang telah didapatkan biasanya digunakan sebagai tumbal untuk ritual tertentu, seperti membangun batu hombo, meningkatkan status sosial (owasa), meningkatkan kekuatan spiritual, ritual membangun rumah, dan menjadi budak bagi si’ulu atau raja yang telah wafat.
Tengkorak yang diikutkan dalam kubur dipercaya akan menjadi pelayan di alam baka. Sebelum berburu, para emali akan meminta perlindungan dan doa kepada dewa agar mendapatkan kepala yang banyak.
Saat perburuan kepala manusia dimulai, para emali akan memakai ikat pinggang dari kulit buaya dan hiasan kepala dari taring babi hutan.
Selain itu, para pemburu kepala juga akan dibekali pedang bernama tologu. Di sarung pedang akan dilengketkan rago, sebuah bola rotan yang dihiasi dengan benda-benda berkekuatan magis.
Benda-benda itu diyakini bisa memberikan kekuatan dan kekebalan untuk melawan ilmu kebal musuh. Biasanya para emali ini berburu kepala sesuai pesanan.
Mereka akan menjelajahi wilayah-wilayah yang jauh untuk mencari mangsa. Berburu kepala untuk dijadikan tumbal ini biasanya dilakukan pada musim tertentu, yakni antara bulan Maret sampai April.
Namun, tradisi mangai binu itu kini sudah tidak lagi dilakukan. Masyarakat Nias telah meninggalkan tradisi itu sejak agama Kristen masuk ke Kepulauan Nias.
——–
Artikel ini telah naik di detikSumut.
(wsw/wsw)