Jakarta –
Kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang mulai berlaku Januari 2025 menimbulkan kekhawatiran di berbagai sektor, termasuk pariwisata.
Sebagai salah satu sektor yang paling terdampak pandemi Covid-19, pariwisata kini menghadapi tantangan baru yang berpotensi menghambat proses pemulihan, yakni kebijakan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% di tahun 2025.
Memahami Dampak Kenaikan PPN
Secara umum, kenaikan PPN akan berdampak pada daya beli masyarakat, terutama segmen kelas menengah ke bawah yang menjadi tulang punggung industri pariwisata domestik.
Pariwisata, yang sebelumnya dianggap sebagai kebutuhan utama untuk relaksasi, berpotensi turun ke posisi sekunder. Artinya, masyarakat kemungkinan besar akan menunda perjalanan atau mencari alternatif wisata yang lebih terjangkau.
Selain itu, kenaikan PPN dapat menciptakan efek berantai (multiplier effect) di sektor pariwisata. Tidak hanya menurunkan jumlah wisatawan, dampak ini juga akan dirasakan oleh industri pendukung seperti transportasi, akomodasi, restoran, hingga penyedia souvenir.
Perbedaan Beban Pajak: Sebuah Ilustrasi
Salah satu tantangan terbesar sektor pariwisata adalah mekanisme pajak yang berbeda dengan industri lainnya. Untuk memperjelas, mari kita bandingkan:
Industri Umum:
Sebuah perusahaan membeli bahan baku senilai Rp 1.000 dengan PPN 12% (PPN Masukan) sebesar Rp 120.
Setelah diolah, produk tersebut dijual seharga Rp 2.000 dengan PPN 12% (PPN Keluaran) sebesar Rp 240.
Maka, perusahaan hanya membayar PPN akhir sebesar Rp 240 – Rp 120 = Rp 120.
Industri Hotel dan Restoran:
Restoran membeli bahan baku dengan harga yang sama, Rp 1.000, dan dikenakan PPN Masukan Rp 120.
Produk dijual dengan harga Rp 2.000, ditambah service charge 10% (Rp 200), sehingga total menjadi Rp 2.200.
Namun, Pajak Hotel dan Restoran sebesar 10% dari total tersebut (Rp 220) merupakan pajak final yang tidak dapat dikompensasikan.
Dengan demikian, total pajak yang dibayarkan adalah Rp 120 + Rp 220 = Rp 340.
Beban tambahan sebesar Rp 220 ini akhirnya dibebankan kepada konsumen, membuat harga produk menjadi lebih mahal dibandingkan sektor lainnya.
Potensi Dampak Negatif Kenaikan PPN
1. Daya Saing Regional Menurun
Negara-negara tetangga yang memiliki beban pajak lebih rendah dan harga kompetitif akan menjadi alternatif lebih menarik bagi wisatawan, terutama wisatawan mancanegara.
2. Penurunan Permintaan
Dengan kenaikan biaya, pariwisata domestik yang sangat sensitif terhadap harga akan terdampak. Wisatawan kelas menengah ke bawah mungkin beralih ke liburan hemat atau menunda perjalanan.
3. Tekanan pada Rantai Pasokan
Industri pendukung seperti transportasi, UMKM penyedia bahan baku, dan atraksi budaya turut terdampak, memperburuk tekanan ekonomi di daerah yang sangat bergantung pada pariwisata.
4. Potensi Pengurangan Tenaga Kerja
Penurunan permintaan dapat mendorong restrukturisasi perusahaan, termasuk pengurangan tenaga kerja yang pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Solusi Jalan Tengah
1. Insentif Pajak untuk Industri Pariwisata
Pemerintah perlu mempertimbangkan pemberian insentif khusus, seperti penghapusan sementara atau pengurangan Pajak Hotel dan Restoran, untuk meringankan beban industri.
2. Dukungan Finansial untuk UMKM Pariwisata
Sebagai tulang punggung sektor ini, UMKM perlu mendapat akses mudah ke pinjaman lunak dan program bantuan untuk memastikan kelangsungan operasional mereka.
3. Kampanye Wisata Domestik
Pemerintah dan pelaku industri dapat bekerja sama dalam meluncurkan kampanye yang mendorong wisatawan untuk tetap memilih destinasi dalam negeri, dengan paket wisata yang lebih terjangkau.
4. Penyesuaian Pajak Bertahap
Alih-alih menaikkan PPN secara langsung menjadi 12%, kenaikan dapat dilakukan secara bertahap untuk memberikan waktu adaptasi kepada pelaku industri.
5. Kolaborasi dengan Sektor Swasta
Dukungan dari sektor swasta, seperti pengembangan infrastruktur wisata dan peluncuran program loyalitas, dapat menjadi solusi jangka panjang untuk menarik wisatawan.
Menakar Masa Depan Pariwisata Indonesia di 2025
Pariwisata adalah sektor strategis yang menyumbang kontribusi signifikan terhadap perekonomian Indonesia, baik dari sisi pendapatan devisa maupun penyerapan tenaga kerja.
Oleh karena itu, kebijakan kenaikan PPN tidak boleh dilihat hanya sebagai langkah fiskal semata, tetapi juga harus mempertimbangkan daya tahan sektor ini dalam jangka panjang.
Taufan Rahmadi Foto: (dok. Istimewa)
|
Dengan kebijakan yang tepat dan dukungan dari semua pihak, sektor pariwisata Indonesia dapat tetap bertahan dan tumbuh meskipun berada di bawah bayang-bayang kenaikan pajak.
Namun, jika tidak ada langkah antisipasi yang memadai, bukan tidak mungkin sektor ini akan kehilangan momentum pemulihannya.
Sebagai bangsa yang dikenal dengan keramahtamahan dan keindahan alamnya, Indonesia memiliki semua potensi untuk menjadi destinasi utama dunia. Tugas kita adalah memastikan kebijakan fiskal tidak menjadi penghalang bagi cita-cita tersebut.
——
Artikel ini ditulis Taufan Rahmadi, Pakar Strategi Pariwisata Nasional. Artikel merupakan kiriman pembaca detikcom.
(wsw/wsw)