Cirebon –
Cirebon di zaman dulu ternyata pernah sangat kumuh. Bahkan, kumuhnya Cirebon sempat jadi sorotan media Belanda pada zaman itu.
Cirebon merupakan daerah yang memiliki sejarah yang sangat panjang. Diperkirakan, Cirebon sudah ada sejak abad ke 15. Kota ini bahkan sudah ada ketika Vereenigde Oostindische Compagniecode (VOC) mulai masuk ke sana pada abad 17.
Sejak masuknya VOC, kehidupan di Cirebon mulai berubah. Lewat politik adu domba, VOC berhasil memperlemah kerajaan Cirebon yang sedang dilanda konflik internal.
Dilansir dari jurnal Perjanjian 7 Januari 1681 dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial Politik Ekonomi di Kerajaan Cirebon 1681 – 1755 M, karya Firlianna Tiya Deviani, pada 7 Januari 1681 terjadi perjanjian antara VOC dengan 3 pangeran di Cirebon.
Ketiga pangeran itu adalah Pangeran Martawijaya, Pangeran Kartawijaya dan Pangeran Wangsakerta dengan VOC. Perjanjian dengan VOC itu menyebabkan Cirebon mengalami banyak kerugian dalam bidang politik, sosial dan ekonomi.
Cirebon akhirnya mengalami banyak kemunduran. Pada abad ke 19, Cirebon dikenal sebagai wilayah yang kumuh dan tidak layak huni. Keadaan Cirebon yang kumuh sangat tergambar jelas dalam banyak media.
Salah satunya surat kabar dari Hindia Belanda. Dalam laporan kontributor yang berjudul Tjirbonniana dari koran Nederlands Indie edisi (12/09/1925), dibeberkan secara jelas bagaimana kumuhnya Cirebon pada abad ke 19.
Cirebon Sangat Kumuh
Tertulis, sebagai mantan warga Cirebon, dahulu ada penyakit kolera di kota itu. Pada saat itu Cirebon belum memiliki persediaan air minum yang cukup.
Di kota Cirebon, saat air surut, banyak tumpukan lumpur yang terpapar uap beracun yang dipengaruhi oleh matahari tropis.
Apalagi penduduk Cirebon sebagian besar tinggal di daerah pantai, tanpa mengetahui daerah pegunungan yang sehat dimana mereka dapat pulih dari iklim pantai yang membahayakan.
“Bahkan pada masa itu, kondisinya demikian buruk, sehingga orang tidak dapat mudah bergerak jika menggunakan kendaraan seperti mobil dan lain-lain,” tulis koran Nederlands Indie.
Di distrik Cangkol dan sekitarnya, banyak penduduk yang tinggal di daerah kumuh yang pengap dengan kondisi tidak ada cahaya dan udara segar yang bisa masuk. Sepanjang tahun, tanah di sana selalu basah, yang disebabkan oleh sistem drainase yang buruk.
Di musim hujan sebagian wilayah terendam oleh air. Kalibacin yang terkenal akan digunakan untuk memasok air di kota yang padat penduduk, tetapi malah lama-kelaman tertimbun lumpur. Di dalamnya tidak terdeteksi air sedikit pun.
Penyakit Merajalela di Cirebon
Dalam artikel tersebut juga dijelaskan tentang kondisi penduduk Cirebon di pusat kota. Tertulis, penduduk asli tinggal dengan padat di distrik pusat kota yang seringkali berawa yang kumuh dan pengap, dimana tidak cukup ada udara dan cahaya yang masuk.
Kabar tentang penduduk yang sakit malaria juga terjadi di berbagai kampung dan kota. Berita tentang banyaknya orang sakit, menjadi gambaran tentang kondisi Cirebon yang sangat tidak sehat.
Krisis di Cirebon masa Hindia Belanda
|
Selain penyakit kolera dan malaria, setiap tahun, di Cirebon banyak penduduk yang terserang sakit demam. Biasanya terjadi saat cuaca sedang buruk.
Warga lokal mengaitkan sakit demam dengan angin kumbang yang berhembus dari arah pegunungan menuju lereng dengan kecepatan yang tinggi, biasanya terjadi saat musim kemarau di bulan Juli sampai akhir September.
Beda Perilaku Warga Pribumi, China dan Arab
Dalam koran tersebut juga dijelaskan tentang beberapa perbedaan perilaku dan pola pikir orang pribumi dan non-pribumi. Orang Arab dan China disebutkan, meski tinggal di pusat kota, mereka selalu menjaga kebersihan.
Untuk memenuhi kebutuhan air minum, orang Eropa, Cina kaya, dan kepala suku pribumi memiliki martavan atau wadah dari batu bata yang digunakan untuk menampung air hujan.
Namun, penduduk pribumi tidak bisa melakukan hal tersebut. Mereka biasanya meminta air kepada teman atau kenalan dan mandi di sumur yang airnya dapat diminum. Karena letaknya dekat dengan laut, sebagian air sumur berisi air payau yang hanya cocok digunakan untuk mencuci, mandi dan memasak.
Banyak juga penduduk pribumi yang sulit diajak kerja sama saat mengatasi wabah. Dalam pandangan mereka, nasiblah yang menimpa mereka, sehingga mereka harus pasrah.
Dengan kondisi Cirebon yang kumuh, agar bisa bertahan, para penduduk disarankan untuk beradaptasi dengan keadaan, menjaga diri, tidur tepat waktu, menjalani kehidupan teratur dan tidak muntah-muntah di malam hari. Terutama saat angin kumbang bertiup.
Upaya Pemerintah Hindia Belanda Menata Cirebon
Pemerintah Hindia Belanda sudah berupaya untuk mengatasi pemukiman Cirebon yang kumuh seperti membangun pipa air dan pembersihan di beberapa wilayah. Gubuk-gubuk pemukiman dan tempat penjualan ikan yang pengap dan berbau tidak sedap dibersihkan secepat mungkin.
Fasilitas-fasilitas tersebut akan digantikan oleh fasilitas lain yang dibangun di tempat yang lebih strategis. Jalur lalu lintas juga secara bertahap akan diaspal dan diperbaiki.
Menurut pegiat sejarah dari komunitas Cirebon History, Putra Lingga Pamungkas, Cirebon memang pernah menjadi kota kumuh yang memiliki sistem drainase yang buruk. Bahkan saking kumuhnya, pusat kota Cirebon yang tadinya dekat dengan pesisir, berpindah ke daerah yang cukup jauh dari laut.
Ada banyak faktor yang menyebabkan Cirebon jadi wilayah kumuh seperti letak geografis Cirebon yang dekat dengan perairan, pembangunan pabrik dan gedung oleh kolonial yang tidak mempertimbangkan aspek lingkungan, serta belum adanya sistem pembuangan limbah dan drainase yang baik.
Untuk mengatasi persoalan kumuhnya Cirebon. Pemerintah Hindia Belanda membangun Gemeente Cirebon pada 1 April 1906. Menurut Lingga, pembangunan Gemeente Cirebon bertujuan untuk memudahkan sistem administrasi dan pengelolaan kota di Cirebon.
Upaya Gemeente Cirebon Akhirnya Membuahkan Hasil
Lewat semangat Per Aspera ad Astra, yang berarti dari jerih payah menuju bintang. Pemerintah Gemeente Cirebon mencoba bangkit dari keterpurukan.
“Ketika itu, Cirebon sedang masa sulit, banyak yang terjadi dari mulai kebanjiran, penyakit menular dan sungai kotor. Kemudian 1906 Gammente Cirebon dengan tekad kuatnya, membangun Cirebon sebagai kota yang maju,” tutur Lingga.
Cirebon masa Hindia-Belanda Foto: Istimewa/arsip
|
Dalam jurnal yang berjudul Dari Per Aspera Ad Astra ke Cirebon Baru karya Dhanang Respati Puguh, pada tahun 1925, upaya Gemeente Cirebon mulai membuahkan hasil.
Banjir mulai jarang terjadi di Cirebon, karena sudah dipasang pompa dan saluran air bawah tanah. Air bersih mulai tersedia, jalanan sudah banyak dibangun dan dibidang kesehatan, pemerintah membangun rumah sakit Oranje yang sekarang dikenal dengan rumah sakit umum daerah Gunung Jati.
——
Artikel ini telah naik di detikJabar.
Simak Video “Relung-relung Dinding Bangunan Menjadi Ciri Islam di Tamansari Sunyaragi, Cirebon“
[Gambas:Video 20detik]
(wsw/wsw)