Jakarta –
Komisi III DPR menerima audiensi terkait kasus seorang jaksa di Kejaksaan Negeri Tapanuli Selatan (Tapsel) Jovi Andrea Bachtiar yang ditangkap dan diproses hukum terkait kasus UU ITE. Jovi hadir dalam rapat tersebut.
Audiensi digelar di ruang rapat Komisi III DPR, gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (21/11/2024). Rapat dipimpin Ketua Komisi III DPR Habiburokhman.
“Kami menyampaikan terima kasih kepada Saudara Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan, Saudara Kajati Sumatera Utara, Saudara Kajari Tapanuli Selatan, Saudara Jovi Andrea Bachtiar beserta kuasa hukumnya atas kesediaannya hari ini menghadiri rapat dengar pendapat Komisi III DPR,” ujar Habiburokhman membuka rapat.
Jovi mulanya menyampaikan penjelasan mengenai kasusnya. Dia menganggap ada upaya kriminalisasi terhadap dirinya.
“Rapat dengar pendapat Komisi III DPR terkait upaya kriminalisasi dan perbuatan sewenang-wenang terhadap jaksa Jovi Andre, yaitu saya, yang dilakukan perbuatan sewenang-wenang itu dilakukan oleh eks Kepala Kejaksaan Negeri Tapanuli Selatan yang lama, yaitu Siti Holija,” kata Jovi.
“Di dalam pemaparan kali ini yaitu ada tiga hal yang ingin saya sampaikan, yaitu berkaitan dengan upaya, yang pertama, upaya kriminalisasi terhadap saya. Yang kedua adalah perbuatan sewenang-wenang Siti Holija Harahap sewaktu menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Tapanuli Selatan. Ketiga, upaya ke Siti Holija Harahap supaya saya dipecat dari Kejaksaan RI,” lanjut dia.
Penjelasan Kejagung
Kejaksaan Agung (Kejagung) menjelaskan soal kasus jaksa Jovi Andrea Bachtiar yang ditangkap dan diproses hukum terkait kasus UU ITE. Kejagung menegaskan tak ada kriminalisasi dalam kasus yang viral ini.
Jovi ditangkap setelah menuduh bahwa mobil milik Kepala Kejari (Kajari) digunakan untuk berpacaran oleh staf di Kejari tersebut. Peristiwa itu disebut terjadi pada Mei 2024.
Tersangka saat itu mengambil foto korban dari TikTok. Kemudian dia mengunggah foto itu di Instagram Story dengan narasi menuduh korban menggunakan mobil Kajari untuk berpacaran.
“Masyarakat harus melihat kasus ini secara utuh dan tidak sepotong-sepotong seperti yang diunggah Jovi Andrea Bachtiar di media sosial. Kejaksaan tidak pernah melakukan kriminalisasi terhadap pegawainya, melainkan yang bersangkutan sendirilah yang mengkriminalisasikan dirinya karena perbuatannya,” kata Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar melalui keterangan tertulis, Kamis (14/11).
Harli mengatakan Jovi mencoba membelokkan isu. Dia menyebut perkara hukum yang dihadapi Jovi merupakan persoalan pribadi dengan korban dan tidak terkait dengan institusi.
“Yang bersangkutan mencoba membelokkan isu yang ada dari apa yang sebenarnya terjadi sehingga masyarakat terpecah pendapatnya di social media. Ada dua persoalan yang dihadapi yang bersangkutan, yaitu perkara pidana dan hukuman disiplin PNS. Perbuatan ini bersifat personal yang bersangkutan dengan korban dan tidak terkait dengan institusi, tetapi oleh yang bersangkutan menggunakan isu soal mobil dinas Kajari,” ujarnya.
Harli menjelaskan Jovi dijerat Pasal 27 ayat (1) UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan terhadap seorang PNS di Kejari Tapsel, Nella Marsella. Pada tanggal 14 Mei 2024, katanya, Jovi memposting tuduhan-tuduhan di Instagramnya dan kemudian pada 19 Juni 2024 kembali membuat enam postingan di TikTok yang diduga menyerang kehormatan Nella dan tidak pernah meminta maaf kepada korban.
“Dalam kurun waktu itu, yang bersangkutan tidak pernah meminta maaf kepada korban dan korban merasa malu dan dilecehkan, kemudian melaporkan yang bersangkutan ke Polres Tapsel. Unggahan tersebut merupakan kata-kata yang tidak senonoh menuduh korban menggunakan mobil dinas Kajari untuk berhubungan badan atau bersetubuh dengan pacar korban, padahal itu hanya rekayasa dan akal-akalan yang bersangkutan,” jelasnya.
(fca/lir)