Jakarta –
Elisabeth Tita larut dalam ingatannya tentang masa kecil. Dalam memorinya, Tita kecil adalah anak pemberani, kreatif, dan imajinatif. Tak peduli tantangan apa yang dihadapinya, Tita akan maju dengan yakin dan siap menghadapi segala hal yang menghalanginya.
Untuk beberapa waktu, Tita percaya bahwa dirinya akan tetap menjadi sosok pemberani yang ia kenal. Namun, tahun demi tahun berlalu, Tita tumbuh menjadi orang yang sama sekali berbeda. Kini, Tita terlalu banyak berpikir, penakut, dan lupa caranya berimajinasi. Ia sudah menjadi orang dewasa.
“Dulu ya, dulu (saya) bebas. Dulu imajinatif sekali. Kreatif sekali. Nah, ke sini aku jadi seorang yang overthinking. Sangat overthinking. Sangat hati-hati. Kurang berani,” ujar Tita di program Sosok detikcom.
Beranjak dewasa, Tita menemukan dirinya menjalani hidup layaknya orang-orang di sekitarnya. Ia menempuh pendidikan, bekerja, menikah, dan berkeluarga. Tita pun menjadi orang dewasa yang bijak dan bertanggung jawab. Namun, hatinya tetap resah karena merasa kehilangan sebagian dari dirinya di masa kecil. Tita yakin, ia mesti melakukan sesuatu untuk membangkitkan hal-hal yang ‘hilang’ itu.
Tita berpikir keras. Ia mengingat-ingat, kegiatan apa yang dulu ia kerap lakukan di masa kecil, namun kini sudah ditinggalkannya? Jawabannya sederhana: bermain.
Maka, lahirlah Waktunya Main. Bersama kawan-kawan sesama seniman, Tita menyelenggarakan berbagai kegiatan bermain untuk anak-anak dan orang dewasa. Hal ini meliputi berbagai workshop, kelas musikal, pementasan, hingga program liburan.
Saat ini, Waktunya Main sedang rutin melakukan pementasan rumah atau house theater. Salah satu pementasan berjudul Aku Melihat Paus di Langit: Da Capo, yang merupakan cerita orisinal kedua yang dibawakan Tita dan Waktunya Main. Konsep pertunjukannya sederhana; sebuah pentas di ruang tamu rumah dengan peraga boneka, lampu-lampu kecil, serta proyektor LED.
Pementasan sederhana itu berjalan lancar dan hikmat. Ditonton oleh berbagai usia mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, tiap-tiap pentas Tita dapat dimaknai dengan berbagai cara. Menurut Tita, pentasnya adalah tontonan seru untuk anak-anak, namun juga penuh refleksi tentang kehidupan yang bisa dimaknai oleh orang dewasa.
Menampilkan karya yang multitafsir dilakukan Tita dan Waktunya Main bukan tanpa sebab. Bagi Tita, yang hilang dari orang dewasa adalah imajinasi dan keberanian. Dampaknya, seseorang bisa terlalu terikat pada hal-hal di sekitarnya dan lupa pada dirinya sendiri.
“Yang hilang dari orang dewasa itu adalah imajinasi dan keberanian. Memang tuntutan hidup itu membuat kita untuk terlalu berhati-hati dalam berpikir. Kita lupa terkoneksi dengan diri kita sendiri. Kita selalu memperhatikan sekeliling kita. Apa kata orang? Apa pendapat orang tentang kita?” terang Tita.
Tak hanya itu, tempat di mana Tita tinggal juga turut menginspirasinya dalam menjalankan Waktunya Main. Hingga kini, kelompok seni tersebut masih bermarkas di Jakarta Selatan, salah satu kota administrasi di provinsi Daerah Khusus Jakarta.
Sepanjang hidupnya di Jakarta, Tita mengamati bagaimana kota metropolitan ini bekerja. Laju kota yang cepat membuat masyarakatnya terburu-buru dan tak ada waktu untuk mengamati sesuatu secara perlahan. Tita melihat bagaimana Jakarta membuat orang-orang ‘gila’ hasil dan lupa pada proses. Akibatnya, stres pun jadi sahabat sehari-hari. Sebab, tidak ada ruang untuk berproses dan menerima kegagalan; hanya ada ekspektasi akan hasil, hasil, dan hasil.
“Jakarta memang kota banget ya. Pace-nya cepat banget. Kita terbiasa dengan yang sudah ada. Jadi, balik lagi, imajinasinya terlalu banyak bermain. Jadi, dia emang, ya udah, ngikutin tren sini, ngikutin tren sana. Kalau nggak ada tren, ya nggak ikut. Nggak mulai. Nggak mencoba,” tutur Tita.
Delapan tahun sudah Tita menjalankan Waktunya Main. Dalam kurun waktu itu pula Tita melihat bahwa ada banyak orang-orang sepertinya; orang-orang dewasa yang butuh menghidupkan kembali sisi anak kecil dalam dirinya. Hal inilah yang membuat Tita tetap berdiri kokoh menyangga Waktunya Main, terlepas dari berbagai hambatan yang melanda.
Selain itu, Tita juga perlahan menemukan dirinya kembali sejak mendirikan Waktunya Main. Sosok Tita kecil yang pemberani dan imajinatif itupun perlahan-lahan muncul kembali dalam diri Tita dewasa. Tita pun merasa menjadi manusia yang lebih ‘seimbang’, mampu mengemban tanggung jawab orang dewasa namun tetap bisa menemukan kebahagiaan layaknya anak kecil.
“Aku akhirnya percaya pada proses. Orang-orang kan kadang-kadang, pengin langsung hasilnya. Hasil yang nggak sesuai sama ekspektasi, stres. Nah, dengan kita percaya pada proses, di saat ada tantangan, kita ‘bermain’, di saat kita harus melepaskan sesuatu, lepas. Jangan, jangan disimpan, karena sudah waktunya lepas, bebas, nanti yang baru datang,” jelas Tita.
(nel/vys)