Jakarta –
Kewajiban asuransi third party liability (TPL) untuk kendaraan bermotor berlaku 2025. Kebijakan ini dirasa bisa memberatkan lantaran pasar otomotif yang sudah lesu.
Asuransi TPL merupakan jenis asuransi untuk kendaraan bermotor untuk memberikan perlindungan terhadap risiko yang timbul ketika pemilik asuransi menyebabkan kerusakan pada kendaraan lain atau cedera pada orang lain saat berkendara. Termasuk juga biaya hukum dan ganti rugi yang mungkin harus dibayarkan.
Asuransi itu berbeda dari asuransi Comprehensive (All Risk) dan Total Loss Only (TLO) yang lebih umum. Asuransi TPL tidak memberi jaminan kepada kendaraan pemilik asuransi sendiri.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara menggunakan istilah “berburu di kebun binatang” saat munculnya kewajiban asuransi TPL. Artinya, saat ini pengenaan tarif tambahan sekadar itu-itu saja, khususnya di sektor otomotif.
“Kita nggak tahu, ya (perkembangan kewajiban asuransi TPL). Orang kan beli mobil sudah pakai asuransi. Masalahnya kalau lihat itu (asuransi TPL), kayak berburu binatang dalam kebun binatang. Sasarannya jelas,” kata Sekretaris Utama Gaikindo, Kukuh Kumara di Jakarta, belum lama ini.
Mobil di Indonesia saat ini hampir 50 persen sudah dikenakan pajak. Belum lagi pasar menghadapi tantangan berupa kenaikan pajak pertambahan nilai, serta pungutan opsen pajak di masing-masing provinsi.
“Pajak kena, dari (harga off the road) Rp 100 juta, jadi Rp 150 juta. Tambah lagi sekarang asuransi,” sambung dia.
Di sisi lain, kondisi antara harga dan pendapatan masyarakat Indonesia seperti buaya mangap.
“Harga mobil kita itu naiknya rata-rata 7,5 persen per tahun. Sementara income masyarakat kelas menengah tadi, naiknya di batasan inflasi 3 persen. Jadi (kondisinya) makin lama, kayak mulut buaya (jarak harga mobil dan pendapatan), nganga terus. Nggak mampu beli mobil,” kata Kukuh Kumara di Gedung Kemenperin, Jakarta, belum lama ini.
Diketahui, data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan 9,48 juta warga kelas menengah Indonesia turun kelas dalam lima tahun terakhir, proporsinya menjadi hanya 47,85 juta. Kini, proporsinya hanya 17,13% dari total populasi, turun dari 21,45% pada lima tahun silam. Padahal, proporsi kelas menengah diharapkan mencapai sekitar 70% dari total populasi pada 2045.
Kelas menengah yang turun kasta ini juga bikin penurunan daya beli, khususnya di sektor otomotif.
“Daya beli yang utama kalau kita lihat lebih lanjut, kemampuan dari kelas menengah kita. Kalau teman-teman melihat apa yang dilaporkan BPS dari 2019-2024, di mana jumlah kelas menengah kita berkurang,” kata Ekonom Senior, Raden Pardede dalam kesempatan yang sama.
Faktanya belum semua masyarakat Indonesia paham tentang kewajiban asuransi ini.
Populix meluncurkan laporan terbaru berjudul “Sentimen Masyarakat terhadap Program Wajib Asuransi Kendaraan”. Laporan ini mengungkapkan kurangnya pemahaman publik serta berbagai kesalahan persepsi terkait rencana program wajib asuransi Third Party Liability (TPL) dari survei kepada lebih dari 1.000 responden, dengan mayoritasnya adalah pekerja kelas menengah atas dengan sebagian besar berpendapatan bulanan hingga Rp 5 juta.
“Sayangnya, dari seluruh responden yang 95%-nya memiliki kendaraan bermotor, hanya dua dari lima yang memahami program ini secara menyeluruh. Padahal, apabila mengacu pada peraturan perundang-undangan, program ini diharapkan mulai berlaku dua tahun setelah UU PPSK diterbitkan, yaitu pada Januari 2025 ini,” kata Indah Tanip, VP of Research Populix dalam keterangannya.
(riar/rgr)