
Jakarta –
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin buka-bukaan soal sengkarut tradisi bullying di kalangan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Budi mengaku sering terhambat dengan regulasi yang lebih banyak berada di bawah wewenang Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Riset Teknologi (Kemendikbudristek), sehingga perlu kerja sama antar Kementerian sebelum melanjutkan proses penindakan.
Sanksi terberat yang selama ini bisa diberikan dari Kemenkes RI adalah pelarangan untuk tidak bekerja di RS vertikal. Budi menilai perlu lebih banyak sanksi berat demi membuat efek jera para pelaku bullying.
Perketat Pengawasan
Di sisi lain, pengawasan juga tidak kalah penting untuk ditingkatkan.
“Kita akan memasang CCTV, untuk memastikan PPDS ini jangan terlalu lama bekerjanya, karena dia bekerjanya bisa sampai 20 jam, 22 jam sehari dan terus-terusan,” beber Menkes Budi dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, Kamis (29/8/2024).
Usul Adakan Persatuan Murid PPDS
Budi mengusulkan perlu ada ikatan persatuan murid dan guru dalam PPDS, mengingat banyak orangtua yang sebetulnya sudah mengetahui anak mengalami bullying, tetapi merasa bingung untuk melapor. Bila ada perwakilan perhimpunan, orangtua memahami bagaimana proses pelaporan bisa terjamin efektif.
“Sehingga dia kalau ditekan oleh senior, dia ada perwakilan, perhimpunannya, seperti kasus yang terjadi di Tegal, orang tuanya kemarin nggak bisa ngapa-ngapain, sampai akhirnya itu kejadian,” tutur Menkes.
Cabut STR-SIP Pelaku Bullying 5 Tahun-Seumur Hidup
Sanksi terberat yang bisa diberikan menurut Budi juga termasuk pencabutan surat tanda registrasi maupun surat izin praktik pelaku bullying. Hal ini sudah bisa langsung dilakukan oleh Kemenkes RI berdasarkan UU No. 17 Tahun 2023.
“Wewenang sudah di kita, tarik dulu STR-SIP, berhentiin satu sampai 5 tahun, atau seumur hidup sehingga bisa diberikan efek jera karena sudah puluhan tahun tidak selesai budaya seperti ini,” pungkasnya.
(naf/up)