![](https://i2.wp.com/awsimages.detik.net.id/api/wm/2024/02/22/kantor-baru-google_169.jpeg?wid=54&w=650&v=1&t=jpeg&w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Jakarta –
Alphabet, induk Google, menghapus kebijakan lama bahwa kecerdasan buatan atau AI dilarang untuk dipakai mengembangkan senjata atau perangkat pengintaian. Perkembangan ini dinilai menyeramkan.
Alphabet menghapus prinsip yang sebelumnya menyatakan tidak akan membuat AI yang berpotensi menimbulkan kerusakan. Organisasi Human Rights Watch mengkritiknya dengan menyebut jika AI dipakai dalam pertempuran misalnya, konsekuensinya bisa jadi adalah kematian.
“Bagi pemimpin industri global mengabaikan aturan yang dibuatnya sendiri adalah tanda pergeseran yang mengkhawatirkan, pada saat kita membutuhkan kepemimpinan di bidang AI yang bertanggung jawab,” cetus Anna Bacciarelli, periset senior AI di Human Rights Watch yang dikutip detikINET dari BBC, Jumat (7/2/2025).
AI dapat menjadi teknologi yang berguna dan menentukan di pertempuran. Namun demikian, pakar cemas senjata yang dibekali AI dapat beraksi sendiri dan menimbulkan kematian, sehingga diharapkan hal semacam itu dapat dikendalikan.
“Sistem yang memasukkan AI di militer telah dipakai di Ukraina dan Timur Tengah dan beberapa negara mau mengintegrasikan AI ke militer mereka. Ini memunculkan pertanyaan sejauh mana mesin diizinkan untuk membuat keputusan militer, termasuk keputusan untuk membunuh dalam skala luas,” cetus para ilmuwan di Doomsday Clock.
Versi sebelumnya dari prinsip AI Google menyebut mereka takkan mengejar senjata atau teknologi lain yang implementasi utamanya untuk menyebabkan atau secara langsung mengakibatkan cedera, serta teknologi pengawasan yang melanggar norma yang diterima internasional. Nah, tujuan tersebut tak lagi ditampilkan di situs web Prinsip AI-nya.
“Ada persaingan global untuk kepemimpinan AI dalam lanskap geopolitik yang makin kompleks. Kami percaya demokrasi harus memimpin dalam pengembangan AI, dipandu nilai-nilai inti seperti kebebasan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap HAM,” tulis Demis Hassabis, CEO Google DeepMind.
(fyk/fay)