![](https://i2.wp.com/awsimages.detik.net.id/api/wm/2025/02/06/taung-child_169.webp?wid=54&w=650&v=1&t=jpeg&w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Jakarta –
Pada 3 Februari 1925, sebuah koran di Afrika Selatan menulis klaim penemuan fosil yang memiliki fitur gabungan manusia dan kera. Arkeolog yang menganalisis ‘Taung Child’ atau ‘Anak Taung’ percaya bahwa fosil tersebut adalah leluhur manusia modern.
Ahli antropologi Raymond Dart yang juga merupakan profesor anatomi berkesempatan mengamati tengkorak itu. Tengkorak tersebut konon digali di sebuah tambang batu kapur dekat Desa Taung, Afrika Selatan, dan sebagian masih terbungkus batu saat Dart menerimanya.
Setelah dengan hati-hati menyingkirkan kelebihan batu kapur dan menganalisis tengkorak yang belum ditemukan itu, ia mendapati bahwa tengkorak itu ‘kehilangan’ beberapa fitur yang ada pada spesies kera yang masih hidup, tetapi memiliki tulang rahang, gigi, dan transisi rongga mata ke dahi yang semuanya tampak ‘sangat mirip’ manusia. Giginya juga membuat Dart memastikan bahwa tengkorak itu milik seorang anak.
Dalam sebuah laporan yang diterbitkan di Nature empat hari setelah artikel surat kabar itu, Dart menyimpulkan satu hal.
“Spesimen itu penting karena menunjukkan ras kera yang telah punah yang merupakan peralihan antara antropoid yang masih hidup dan manusia,” ujarnya.
Dengan kata lain, ia yakin itu adalah apa yang disebut ‘mata rantai yang hilang’ dalam pohon keluarga antara kera yang masih hidup dan Homo Sapiens. Dart menamai spesies tersebut Australopithecus africanus dan jika ia benar tentang asal-usulnya, Taung Child akan menjadi fosil pertama nenek moyang manusia yang ditemukan di Afrika dan yang pertama dalam genusnya.
Namun, kesimpulan ahli anatomi tersebut mendapat banyak penolakan. Meskipun ilmuwan masa kini cenderung setuju bahwa A. africanus mungkin merupakan cabang sampingan dalam evolusi manusia dan bukan nenek moyang langsung Homo Sapiens, para ilmuwan pada tahun 1920-an punya alasan lain mengapa mereka menentang kesimpulan Dart.
Melansir IFLScience, Sabtu (8/2/2025), salah satu alasannya adalah rasisme ilmiah merajalela. Meskipun Charles Darwin telah berhipotesis bahwa Afrika adalah tempat lahir manusia, banyak ilmuwan yang teguh dalam keyakinan mereka bahwa manusia pasti muncul di Eropa atau Asia.
“Pemikiran umum saat itu adalah bahwa Afrika agak terbelakang,” kata antropolog dan National Geographic Explorer Keneiloe Molopyane kepada National Geographic.
“Jadi, mengapa Anda menemukan asal-usul manusia di tempat seperti itu?” lanjutnya.
Pada akhirnya, fosil ‘Anak Taung’ diyakini para ilmuwan sebagai fosil tengkorak seorang Australopithecus africanus muda, salah satu cabang dalam evolusi manusia. Keraguan di awal hanya karena kurangnya bukti fosil pada saat itu. Dapat dikatakan, penemuan fosil ‘Anak Taung’ menjadi salah satu isu paling dramatis dalam dunia arkeologi.
(ask/hps)