Jakarta –
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) heran dengan usulan KPU-Bawaslu menjadi ad hoc, bukan lembaga tetap yang disampaikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Fomrappi mengatakan amanat konstitusi menegaskan bahwa KPU adalah lembaga negara bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
“Tapi ya itu dia, usulan yang masih sangat mentah ini seharusnya tak langsung diumbar ke publik karena ketahuan kalau DPR belum melakukan kajian serius atau mungkin tak mau melakukan kajian terlebih dahulu sebelum merevisi UU Pemilu,” kata peneliti Formapii, Lucius Karus, kepada wartawan, Senin (25/11/2024).
Lucius mengatakan KPU merupakan lembaga bersifat nasional, tetap, dan mandiri adalah amanat konstitusi. Hal itu tertuang dalam Pasal 22E ayat 5 Undang-Undang Dasar 1945.
“KPU sebagai lembaga yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri itu merupakan amanat konstitusi. Oleh karena itu, level diskusi terkait keinginan mengubah KPU menjadi ad hoc itu seharusnya dalam konteks amendemen konstitusi, bukan revisi UU Pemilu. Seharusnya DPR memahami itu sebelum menyampaikan usulan yang bahkan tak relevan. Atau bahkan tak dipahami oleh DPR sendiri,” jelas Lucius.
Lucius menganggap usulan itu bagian dari semangat DPR untuk membuka ruang partisipasi publik. Namun Lucius menekankan KPU RI tetap harus menjadi lembaga yang bersifat tetap. Menurutnya, yang bisa menjadi ad hoc adalah KPU di daerah.
“Akan tetapi wacana ad hoc itu sangat mungkin diusulkan untuk KPUD provinsi dan KPUD kabupaten/kota. Yang diputuskan bersifat nasional, tetap dan mandiri oleh konstitusi itu hanya KPU nasional,” jelas dia.
Menurut Lucius, KPUD dan Bawaslu di daerah bukan regulator seperti KPU pusat. Maka, kata dia, KPU dan Bawaslu di daerah akan menganggur saat proses pemilihan selesai.
“Saya kira usulan membuat KPUD-KPUD menjadi lembaga ad hoc relevan dan layak untuk dipertimbangkan pada revisi UU Pemilu kali ini. Termasuk juga Bawaslu RI dan Bawaslu daerah, sama juga dengan KPUD-KPUD. Bawaslu mulai dari pusat hingga ke daerah sudah seharusnya menjadi badan ad hoc saja karena tanpa tahapan penyelenggaraan, pengawas pemilu sudah pasti nggak punya kerjaan,” jelasnya.
Menurut Lucius, menjadikan KPUD dan Bawaslu menjadi badan ad hoc akan menghemat anggaran.
“Dari pada habis-habisin anggaran, ya KPUD-KPUD dan Bawaslu pusat hingga daerah dibikin ad hoc saja. Cukup sisain KPU RI saja yang tetap walau tetap harus dibicarakan bagaimana mendapatkan komisioner yang layak untuk posisi itu,” pungkasnya.
Usulan KPU Jadi Adhoc
Diberitakan sebelumnya, anggota Baleg DPR RI Saleh Partaonan Daulay mengusulkan agar KPU hanya menjadi lembaga ad hoc yang hanya terselenggara selama dua tahun untuk persiapan dan pelaksanaan Pemilu. Dia menyebutkan usulan ini perlu demi negara dapat menghemat anggaran, khususnya ketika KPU tidak sedang berada pada tahun-tahun Pemilu.
“Jadi kita sedang berpikir sedang berpikir di DPR, justru KPU itu hanya lembaga ad hoc, dua tahun saja. Ngapain kita menghabiskan uang negara kebanyakan,” kata Saleh saat rapat dengar pendapat antara Baleg DPR RI bersama tiga lembaga/organisasi di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis, 31 Oktober 2024, seperti dilansir Antara.
Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda merespons munculnya usulan itu. Rifqinizamy mengatakan pihaknya saat ini belum mengagendakan pembahasan Undang-Undang (UU) Pemilu.
“Pertama dari sisi pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu maupun Pilkada, di mana di dalamnya terkait dengan kedudukan KPU/Bawaslu, terutama di tingkat provinsi/kabupaten/kota sampai ke tingkat TPS/KPPS/dan pengawas TPS belum dijadwalkan untuk dibahas di Komisi II DPR RI,” kata Rifqinizamy kepada wartawan, Minggu (24/11).
Komisi II DPR, menurut Rifqinizamy, akan berfokus untuk membahas revisi UU Aparatur Sipil Negara (ASN) pada 2025 mendatang. Dengan begitu, revisi terhadap UU Pemilu belum dijadwalkan untuk dilakukan.
(lir/dnu)