Jakarta –
Polemik dugaan bullying di Universitas Diponegoro masuk ‘babak baru’. Hasil investigasi Kementerian Kesehatan RI baru-baru ini menunjukkan adanya pemungutan biaya di luar kebutuhan pendidikan sebesar 20 hingga 40 juta per bulan.
Hal ini juga dialami mendiang almarhumah ‘dr ARL’ yang ditemukan tewas di kamar kost-nya di Kelurahan Lempongsari, Gajahmungkur, Kota Semarang, Jawa Tengah, Minggu (12/8/2024).
Dokter residen atau mahasiswa PPDS Undip anestesi RS Kariadi, Angga Rian, membantah adanya pemalakan. Biaya yang selama ini dikeluarkan di luar keperluan pendidikan adalah iuran rumah tangga dan sifatnya diklaim sukarela.
“Membeli makanan itu sistemnya gotong royong, kenapa? Karena program operasi Kariadi ini 24 jam, untuk makan malam kita tidak disediakan makan malam oleh rumah sakit. Nah sementara residen ini posisinya masih di kamar operasi menjalankan pembiusan, salah satu sistemnya adalah kita dibelikan makanan dan itu akan berlanjut seperti itu terus sampai program operasinya bisa selesai,” kata Angga dalam konferensi pers, Senin (2/9).
“Tapi untuk selanjutnya semester 2, 3, 4 dia tidak perlu membayar lagi karena semester 1 dia sudah membelikan makan,” lanjut Angga.
Residen junior disebut membantu senior yang tidak bisa keluar dari ruang operasi karena harus bersiaga hampir 24 jam. Menurutnya, saat ini ada 85 mahasiswa PPDS Undip semester 1 hingga 8 di RS Kariadi yang dituntut belajar membantu pelayanan 120 sampai 140 pasien di kamar operasi serta 20 hingga 30 program pembiusan di luar kamar operasi.
Angga tidak memastikan berapa persisnya jumlah iuran yang dimaksud. Namun, ia kembali menekankan permintaan ini hanya dilakukan pada semester awal.
Angga sendiri memberikan iuran maksimal Rp 10 juta selama enam bulan dan dirinya menyebut adapula residen yang tidak mengikuti iuran. Iuran juga bisa diberikan dalam bentuk cicilan. Total besaran yang dikumpulkan dikelola bendahara angkatan untuk membelikan kebutuhan termasuk membayar kontrakan bersama, keperluan wifi, dan lain-lain.
“Paling besar pas saya Rp10 juta. Tapi kalau ada sisa itu dikembalikan. Itu kan hanya satu semester saja,” jelas dia.
Angga juga mengaku mengenal dr ‘ARL’ sebagai juniornya, tetapi dirinya tidak tahu-menahu soal pemalakan Rp 40 juta seperti hasil investigasi Kemenkes RI. Dirinya kembali menekankan iuran tersebut tidak bersifat wajib, almarhumah ‘dr ARL’ disebutnya juga termasuk yang tidak sering iuran.
“Selama ini sepengetahuan teman-teman angkatannya, almarhumah itu termasuk yang tidak ikut setoran,” kata dia
(naf/kna)