Jakarta –
Pada Rabu (24/4/2024), beberapa wilayah di Asia Tenggara dan Selatan dilanda panas ekstrem. Penelitian ilmiah yang ekstensif menemukan perubahan iklim menyebabkan gelombang panas menjadi bertahan lama, lebih sering, dan lebih intens.
Filipina menjadi salah satu negara yang terdampak suhu tinggi ini. Erlin Tumaron, 60, warga yang bekerja di resor tepi laut Filipina di provinsi Cavite, selatan Manila, merasakan dampaknya.
“Panas sekali sehingga Anda tidak bisa bernapas,” ungkap Erlin yang dikutip dari CNA.
“Mengejutkan bahwa kolam kami masih kosong. Anda pasti mengira orang akan datang dan berenang, tapi tampaknya mereka enggan meninggalkan rumah karena panas,” lanjutnya.
Filipina menjadi negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim, dan sekitar separuh provinsinya dilanda kekeringan.
Hal ini juga dirasakan Mary Ann Gener, seorang pegawai pemerintah di provinsi Occidental Mindoro. Ia mengatakan orang-orang yang bekerja di dalam ruangan dengan AC mungkin masih baik-baik saja, tapi tidak dengan yang harus beraktivitas di luar ruangan.
“Tetapi ini buruk bagi mereka yang berada di luar,” tutur Mary.
“Kamu langsung sakit kepala setelah keluar. Kamu benar-benar perlu minum,” sambungnya.
Selain Filipina, Bangladesh juga terdampak gelombang panas. Kondisi itu membuat ribuan orang berkumpul di Dhaka untuk berdoa memohon hujan, saat gelombang panas ekstrem memaksa pihak berwenang menutup sekolah-sekolah di seluruh negeri.
Biro cuaca Bangladesh mengatakan suhu maksimum rata-rata di ibu kota selama seminggu terakhir adalah 4-5 derajat celcius lebih tinggi, dibandingkan rata-rata 30 tahun pada periode yang sama.
“Berdoa meminta hujan adalah tradisi nabi kami. Kami bertobat atas dosa-dosa kami dan berdoa memohon berkah darinya atas turunnya hujan,” kata Muhammad Abu Yusuf, seorang ulama yang memimpin ibadah salat subuh untuk 1.000 orang di pusat Dhaka.
“Kehidupan menjadi tak tertahankan karena kurangnya hujan. Orang-orang miskin sangat menderita,” lanjut dia