
Aku berangkat seorang diri dari Bekasi di siang hari, menaiki KRL menuju Stasiun Tanah Abang. Kota yang sibuk dan panas terasa kontras dengan perjalanan yang akan ku tempuh ke gunung esok harinya.
Dari Tanah Abang, aku bertemu tim yang sudah menunggu di mobil. Kami melanjutkan perjalanan darat menuju Garut, tempat Gunung Papandayan berada.
Langit sudah gelap saat kami tiba di penginapan. Rasa lelah mulai terasa, tetapi pekerjaan belum selesai. Kami bertemu klien untuk briefing singkat, mendiskusikan konsep pengambilan gambar, teknis syuting, serta lokasi yang akan dieksplorasi keesokan harinya.
Setelah memastikan semua peralatan siap, aku beristirahat, mengumpulkan energi untuk tantangan esok. Pukul empat pagi alarm berbunyi.
Mata masih berat, tetapi tak ada pilihan selain bersiap. Suhu udara menusuk, membuatku enggan meninggalkan kasur, tetapi waktu tak bisa menunggu.
Setelah memastikan perlengkapan lengkap, aku dan tim berangkat ke titik awal pendakian. Setibanya di sana, suasana mulai hidup. Para kru berkumpul, mengecek perlengkapan masing-masing.
Beberapa pendaki lain juga tampak bersiap, mengenakan jaket tebal dan mengencangkan tali sepatu. Syuting di gunung bukan hal mudah. Aku harus berjalan di jalur berbatu sambil membawa kamera di gimbal, menguras tenaga lebih cepat.
Di beberapa titik, kami berhenti untuk mengambil adegan, mengarahkan aktor, dan memastikan cahaya serta komposisi gambar tepat. Beberapa kali take harus diulang karena kendala teknis atau pencahayaan kurang mendukung.
Tantangan terbesar bukan hanya medan terjal dan udara tipis, tetapi juga mencari sudut terbaik untuk menangkap keindahan Papandayan. Lokasi pengambilan gambar berbukit dan berbatu menuntut kami ekstra hati-hati.
Satu langkah salah bisa berakibat fatal. Aku terus berpikir bagaimana mengemas keindahan gunung ini dalam visual yang tidak hanya indah, tetapi juga bercerita.
Di kawasan kawah, asap putih terus mengepul dari celah tanah, menciptakan efek dramatis. Namun, asap belerang bisa merusak lensa kamera dan mengganggu pernapasan.
Aku harus rajin membersihkan lensa dan memakai masker agar tetap bisa merekam dengan baik. Kami juga berhadapan dengan medan tak rata.
Saat berpindah lokasi, kami melewati jalur berbatu curam. Mengarahkan aktor di sini butuh perhatian ekstra. Tidak hanya memastikan mereka tampil sesuai konsep, tetapi juga menjaga keselamatan.
Tim beberapa kali harus berhenti menyesuaikan posisi kamera agar gambar tetap stabil. Angin kencang menjadi kendala lain. Beberapa kali drone sulit dikendalikan karena embusan angin cukup kuat.
Namun, waktu terbatas, dan kami harus berimprovisasi agar tetap bisa mengambil footage udara dengan aman. Menjelang pukul dua belas siang, syuting utama selesai.
Aku lega, tetapi tubuh mulai lelah. Setelah memastikan semua footage aman, kami mengemas perlengkapan dan kembali ke penginapan.
Perjalanan turun terasa lebih cepat, tetapi tetap menguras tenaga. Sesampainya di penginapan, aku langsung tertidur. Tidur terasa begitu nyenyak hingga aku terbangun sebelum maghrib.
Rasa lelah masih ada, tetapi pekerjaan belum selesai. Setelah maghrib, kami mengambil footage tambahan. Malam di Papandayan menghadirkan suasana berbeda, yakni hening, dingin, dan penuh misteri.
Kamera kembali dinyalakan untuk menangkap keadaan sekitar penginapan selagi para aktor menyiapkan perlengkapan mereka. Mengambil gambar di malam hari memiliki tantangan tersendiri.
Cahaya minim membuat kami harus bermain dengan pengaturan kamera yang lebih sensitif terhadap cahaya. Pencahayaan buatan digunakan agar objek tetap terlihat jelas dalam rekaman.
Setelah footage terakhir selesai direkam, proyek ini akhirnya tuntas. Semua peralatan dikemas kembali, dan tubuh yang letih kembali merindukan kasur. Kami memutuskan menonton film horor Korea sebelum tidur, karena keesokan harinya harus kembali pulang.
Hari masih gelap saat alarm berbunyi pukul empat pagi. Kali ini, bukan untuk mendaki, tetapi untuk perjalanan pulang. Dengan mata setengah terbuka, kami bergegas memasukkan barang ke mobil dan bersiap meninggalkan Papandayan.
Mobil mengantar kami hanya sampai halte bus. Benar, kami pulang menggunakan bus, membuat perjalanan pulang terasa berbeda. Tidak ada lagi perasaan gugup seperti saat berangkat.
Aku merasa puas karena telah menyelesaikan tugas dengan baik. Meskipun tubuh letih, ada kebanggaan tersendiri karena berhasil mengabadikan keindahan Papandayan dalam rekaman yang akan menjadi bagian dari dokumentasi lebih besar.
Saat kendaraan melaju meninggalkan pegunungan, aku melihat ke luar jendela, menyaksikan siluet gunung yang perlahan memudar di kejauhan.
Aku tersenyum puas karena perjalanan ini mungkin melelahkan, tetapi setiap adegan yang telah kami abadikan adalah bukti bahwa usaha kami tidak sia-sia.
Gunung Papandayan bukan hanya menyajikan lanskap indah, tetapi juga mengajarkan ketangguhan. Menjadi videografer di alam bebas bukan hanya soal teknik pengambilan gambar, tetapi juga bertahan dalam kondisi sulit dan tetap fokus pada tujuan.
Aku menyadari, dalam setiap perjalanan, bukan hanya kamera yang merekam cerita, tetapi juga pengalaman yang terpatri di batin.