Jakarta –
Kebutuhan susu dalam negeri saat ini 80% masih dipenuhi secara impor. Pemerintah dan industri perlu kerja keras untuk mendorong produktivitas seiring kebutuhan susu yang meningkat akan adanya program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Peneliti senior sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan. Pertama, impor sapi perah untuk meningkatkan produksi.
“Sapi yang untuk perahnya, indukan sapi yang buat perah itu kita impor. Pola itu yang kemudian mungkin dilakukan karena kita memang existing sekarang impornya sudah besar, ke depannya memang harus dikurangi,” kata Tauhid kepada detikcom, Minggu (22/12/2024).
Tauhid menyebut kondisi eksisting produksi susu sapi Tanah Air kini berada di kisaran 1 juta ton atau setara dengan 21%. Sedangkan, impor susu sapinya ada di kisaran 3,7 juta ton atau setara dengan 79%.
“Padahal sampai 2029, kebutuhannya (susu sapi) bisa dua kali lipat, sekitar 8,5 juta ton. Ini bertahap tentu saja ya, karena kita kan bertahap 8,5 juta ton di mana susu segar itu dari dalam negeri mungkin 4,9 juta ton sampai 2029, dan impor itu 3,6 juta ton. Artinya, dengan situasi ini, ketergantungan impornya masih tinggi,” bebernya.
Kedua, industri dalam negeri harus memperluas skala bisnisnya. “Mulai dari tempat untuk rumputnya, tempat untuk ternaknya, membangun infrastruktur dan sebagainya,” ucapnya.
Ketiga, dari sisi pemerintah harus memberikan dorongan fasilitas pembiayaan bagi industri susu sapi dalam negeri.
“Karena begini, untuk menambah kapasitas susu dalam negeri tidak mudah, ini butuh sekian (anggaran). Itu kan bisnisnya peternak juga menanggung, misalnya peternak butuh indukan, dia harus siapkan uangnya. Uangnya dari mana? Itu juga tidak gratis. Pemerintah bisa datangkan (indukan sapi perah impor), tapi peternak harus beli indukan sapi perahnya,” jelasnya.
Menurut Tauhid, butuh waktu untuk Indonesia memenuhi kebutuhan susu di dalam negeri. Untuk itu, di tahun-tahun pertama diyakini masih akan ada impor susu untuk mensukseskan program MBG.
“Itu butuh waktu, jadi mungkin di tahun pertama hingga tahun kedua itu belum cukup, pasti kita masih ada importasi susu. Akan tetapi mungkin kalau ada dukungan anggaran untuk infrastruktur, mungkin saja itu bisa dilakukan,” terangnya.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menambahkan bahwa susu bisa diganti dengan protein hewani atau nabati bagi daerah yang sulit dijangkau peternak susu.
“Daerah pesisir kan ada ikan laut dan berbagai jenis produk perikanan yang potensial menjadi pasokan protein hewani untuk MBG. Sekolah di pinggir laut menunya mungkin berbeda dengan daerah basis peternakan sapi perah, tetapi kandungan gizinya yang perlu dipastikan merata,” beber Bhima.
(aid/kil)