
Jakarta –
Sebuah studi baru menemukan bahwa perubahan iklim mungkin mendorong perilaku buaya hingga batas maksimal. Di Australia, buaya muara (Crocodylus porosus) berjuang melawan pemanasan global.
Seperti kebanyakan reptil, buaya bersifat ektotermik (berdarah dingin), yang berarti suhu tubuh mereka ditentukan oleh lingkungan eksternal dan bukan oleh proses internal, berbeda dengan hewan endotermik (berdarah panas) seperti burung dan mamalia.
Ketika buaya perlu menghangatkan diri, mereka berjemur di bawah sinar Matahari. Dan ketika mereka perlu mendinginkan diri, mereka mungkin bersantai di tempat teduh, bersembunyi di sungai dan kolam yang sejuk, atau berjemur di tepi pantai pada malam hari.
Namun, iklim yang menghangat telah meningkatkan suhu tubuh buaya, dan tampaknya mengubah perilaku mereka. Dalam sebuah makalah yang diterbitkan pada 12 Februari di jurnal Current Biology, para ilmuwan melaporkan bahwa selama periode 15 tahun, suhu tubuh rata-rata buaya meningkat dalam jumlah yang kecil namun signifikan. Lebih jauh, mereka menghabiskan lebih banyak hari pada batas termal kritis mereka, yakni 32 derajat Celsius.
Penelitian sebelumnya pada buaya penangkaran telah menunjukkan bahwa suhu tubuh 32 derajat Celcius atau lebih tinggi menyebabkan penurunan kinerja berenang dan menyelam. Ketika tubuh mereka menjadi terlalu panas, buaya menghabiskan lebih banyak waktu untuk mencoba mendinginkan diri dan mengurangi aktivitas mereka.
“Buaya yang lebih panas memiliki metabolisme yang lebih tinggi,” kata penulis utama Kaitlin Barham, kandidat doktor yang mempelajari gerakan dan perilaku buaya di University of Queensland, Australia, dikutip dari Live Science.
“Metabolisme yang lebih tinggi berarti membakar oksigen lebih cepat. Penelitian laboratorium menemukan bahwa mereka tidak dapat menahan napas selama itu. Mereka akan membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih di permukaan,” jelasnya.
Antara 2008 hingga 2023, para peneliti mempelajari 203 buaya muara (juga disebut buaya air asin) di Steve Irwin Wildlife Reserve di Queensland. Mereka melacak suhu tubuh reptil tersebut menggunakan perangkat akustik yang ditanamkan di bawah kulit. Perangkat ini mengirimkan sinyal ke penerima di dekatnya dan pelacak tambahan digunakan untuk memantau kapan buaya tersebut menyelam, dan berapa lama.
Jika buaya tidak terdeteksi selama periode mulai dari 30 menit hingga 24 jam dan kemudian terdeteksi lagi dengan suhu tubuh yang lebih tinggi atau lebih rendah, para ilmuwan berasumsi bahwa buaya tersebut telah mengubah perilakunya untuk mengatur suhu tubuhnya, baik berjemur di bawah sinar Matahari untuk menaikkan suhu tubuhnya atau mencari tempat yang sejuk untuk menurunkan suhu tubuhnya.
“Buaya tersebut akan menghilang selama beberapa jam, dan kemudian kembali dengan suhu 1 atau 2 derajat Celcius lebih dingin,” kata Barham.
Selama periode penelitian, para peneliti mencatat hampir 6,5 juta pembacaan suhu dari buaya. Suhu tubuh tertinggi meningkat sebesar 0,55 C. Dari buaya yang dipantau, 135 menunjukkan suhu tubuh melebihi 32 derajat Celcius setidaknya sekali, dan satu individu menunjukkan suhu tubuh di atas 32 derajat Celcius selama lebih dari sebulan pada 2021.
Suhu tubuh tertinggi dikaitkan dengan periode El Niño, dipicu arus Pasifik yang luar biasa hangat menyebabkan musim panas dan kering di daratan. Frekuensi periode ini diyakini meningkat sebagai akibat dari perubahan iklim.
Menurut data pelacakan, perilaku pendinginan terdeteksi lebih sering ketika suhu sekitar lebih panas. Buaya juga menenggelamkan diri untuk periode yang lebih pendek ketika suhu tinggi.
Tidak jelas bagaimana perubahan perilaku buaya ini memengaruhi kelangsungan hidup mereka. Mereka tentu saja sudah beradaptasi dengan suhu tinggi, tetapi ada kemungkinan bahwa peningkatan periode cuaca panas dapat mengurangi kemampuan mereka untuk berburu. Buaya adalah predator siluman dan biasanya menenggelamkan diri untuk menyergap mangsa di tepi sungai.
“Setiap menit yang mereka habiskan di tepi sungai untuk mencoba menurunkan suhu tubuh mereka adalah menit yang tidak mereka gunakan untuk bepergian, bereproduksi, atau mencari makanan. Itu dapat mengakibatkan dampak tidak langsung di masa mendatang pada kesehatan mereka,” kata Barham.
(rns/afr)