
Jakarta –
Kepulauan Bangka Belitung seolah menggambarkan betapa kekayaan yang luar biasa justru menjadi petaka. Keindahan pantai dengan air jernih dan batu granit raksasa, urat-urat timah di seluruh tanah, dan kebun luas lada yang khas diseling lubang-lubang menganga bekas tambang.
Bangka Belitung (Babel) menjadi provinsi ke-31 oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Sebelumnya pulau itu merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan.
Saat masih menjadi bagian Sumsel atau pun sekarang, bahkan sejak dulu kala, Babel adalah pulau timah. Dalam bahasa Sansekerta, Babel dinamai Wangka, yang artinya timah.
Kandungan timah di Babel memang tidak basa-basi jumlahnya. Bangka merupakan pulau dengan cadangan timah terbesar di dunia, dengan urutan keempat, cuma kalah dari China, Peru, Amerika Serikat (AS), sebagian malah tidak menempatkan AS di urutan ketiga.
Kendati dikeruk lebih dari tiga abad sejak masa Sultan Palembang (1671) hingga sekarang, cadangan timah atau yang disebut sebagai emas putih di Babel masih berlimpah.
Berdasar data terakhir Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral per Juli 2020, sumber daya timah pulau ini mencapai 10,05 miliar ton dengan cadangan masih 6,81 miliar ton.
Badan usaha milik pemerintah (BUMN) yang menguasai aktivitas tambang timah di hulu ke hilir di Babel adalah PT Timah (Persero)Tbk. tetapi, justru sejumlah orang di PT itu dan orang di luar perusahaan tersebut bersepakat untuk menyelewengkan kewenangan itu. Mereka mengijinkan penambangan timah ilegal pada wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk pada kurun 2015 hingga 2022.
Sejauh ini ada 16 tersangka. Di antaranya, suami dari aktris Sandra Dewi, yakni Harvey Moeis dan Helena Lim.
Kejaksaan Agung pada 19 Februari 2024 menghadirkan ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo. Ia melakukan penghitungan kerugian yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di Bangka Belitung imbas dari dugaan korupsi yang merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.
Menimbang peraturan yang ditetapkan, Bambang menakar angka kerugian lingkungan yang menohok masyarakat, yakni mencapai Rp 271.069.688.018.700 atau Rp 271 triliun. Bambang menjelaskan angka Rp 271 triliun adalah perhitungan kerugian kerusakan lingkungan dalam kawasan hutan dan nonkawasan hutan.
Bambang juga menyampaikan data luas galian PT Timah Tbk di Babel yang mencapai sekitar 170.363.064 hektar. Namun, galian yang memiliki izin usaha tambang atau IUP hanya 88.900,462 hektare.
Mengutip Antara, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Kuntadi menyebut hasil perhitungan ekologi yang dipaparkan Prof. Bambang perlu ditambah dengan kerugian keuangan negara yang ditimbulkan.
“Saat ini penghitungan kerugian keuangan negara masih berproses, nanti berapa hasilnya akan kami sampaikan,” kata Kuntadi.
Nahasnya, kondisi alam disebut dibiarkan rusak. Kuntadi menyebut banyak area bekas tambang yang tidak dilakukan proses pemulihan atau reklamasi.
“Sama sekali tidak dipulihkan dan ditinggalkan begitu saja, menimbulkan bekas lubang-lubang besar dan rawa-rawa yang tidak sehat bagi lingkungan masyarakat,” kata Kuntadi.
Menurut Walhi Bangka Belitung, ada lebih dari 12 ribu galian tambang timah dibiarkan menganga.
“Perkiraan kami ada 12.607 lubang tambang yang belum direklamasi selama tiga tahun, sejak 2021 sampai 2023. Kalau dihitung belasan ribu lubang tambang itu sama dengan luasan 15.579 hektare,” ujar Ahmad Subhan Hafiz, seperti dikutip dari BBC News Indonesia.
Lubang bikin celaka
Tak hanya berlangsung di kawasan hutan, aktivitas pertambangan merambah ke wilayah pesisir. Padahal, lautan menjadi harapan dan tumpuan hidup masyarakat lokal.
Gegara lubang yang dibiarkan menganga, aktivitas masyarakat terganggu. Misalnya para nelayan udang di Pantai Batu Perahu, Kelurahan Tanjung Ketapang, Kecamatan Toboali, yang selalu was-was ketika bekerja. Jika pepatah menyebut “ada lubang di balik batu”, di Babel menjadi “ada udang di balik lubang” kira-kira begitu.
“Kami menyungkur udang saat kondisi pasang menuju surut, sehingga lubang-lubang itu masih tertutup air laut. Beruntung kami hafal lokasinya, sehingga bisa menghindar,” ujar Saiful Bahari (63), dikutip dari Mongabay.
Gara-gara lubang tambang tersebut, tercatat ada 21 kasus tenggelam. Walhi menyebut ada 15 korban yang meninggal dunia karena hal ini. 12 di antaranya merupakan anak-anak hingga remaja dengan rentang 7-20 tahun.
Walhi mengklaim sepanjang tahun 2021-2024 ada 25 kasus konflik buaya dan manusia yang membuat 14 orang meninggal dan 12 lainnya luka-luka.
Selain terkenal dengan keindahan alam dan kekayaan timah. Babel juga dikenal dengan lada putih. Kualitas lada dari Babel terkenal di dunia karena memiliki karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki daerah lain seperti misal Lampung, Bengkulu, Kalimantan, dan Sulawesi.
Lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung juga merupakan komoditas pertanian yang telah ada secara turun temurun. Lada putih di sini bersertifikasi indikasi geografis (IG) yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan Ham.
Cita rasa lada putih Muntok White Pepper di sini berbeda jauh dengan lada dari daerah lain. Memiliki piperin atau tingkat kepedasan yang tinggi yakni 5-7 persen dan aroma minyak atsiri yang tajam. Karenanya, lada di sini memiliki daya tarik tinggi bagi beberapa negara dunia.
Namun, keberadaan lada di Babel menurun cukup tajam. Antara mencatat menyebut pada 2020 luas perkebunan lada menurun dari 52.688 hektare di 2019 menjadi 52.192 hektare. Kemudian penurunan konsisten pada 2021 menjadi 49.465 hektare dan menjadi 44.548 hektare di 2022.
Produksi juga berbanding lurus dengan luas lahan yang mengalami penurunan. Pada 2019 produksi lada tercatat 33.458 ton, menjadi 29.441 ton pada 2020. Kemudian di 2021 turun ke 27.167 dan 2022 menjadi 26.408,82 ton.
Ketua Badan Pengelolaan, Pengembangan dan Pemasaran (BP3L) Kepulauan Bangka Belitung Rafki Hariska menyebut penurunan produksi lada itu menunjukkan perubahan budaya masyarakat Babel. Petani lada beralih profesi menjadi penambang timah dan berkebun sawit.
Simak Video “Bersantai Sejenak Seruput Minuman Segar di Kolam Penginapan Belitung“
[Gambas:Video 20detik]
(wkn/fem)