![](https://i1.wp.com/awsimages.detik.net.id/api/wm/2018/09/21/77280a4e-4b58-4e04-9f39-2a5c0f31364e_169.jpeg?wid=54&w=650&v=1&t=jpeg&w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Jakarta –
Sebuah laporan terbaru mengungkapkan, pemerintah China sedang mempertimbangkan untuk meluncurkan penyelidikan antimonopoli terhadap Apple.
Penyelidikan tersebut terkait biaya di App Store serta pembatasan yang dilakukan Apple terhadap toko aplikasi pihak ketiga dan metode pembayaran.
Komisi 30% dari Apple untuk penjualan aplikasi dan pembelian dalam aplikasi adalah inti dari masalah ini. Kebijakan App Store Apple telah menghadapi kontroversi sebelumnya.
Masalah tersebut bahkan membuat Apple dan Epic terlibat tuntutan hukum. Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa beberapa layanan, seperti Netflix dan Spotify, telah menghapus opsi untuk berlangganan layanan mereka melalui aplikasi mereka.
Sebagai gantinya, pelanggan harus mengatur langganan mereka sendiri melalui situs web mereka. Hal ini dilakukan agar layanan-layanan ini dapat menghindari potongan 30%.
Menurut laporan tersebut, regulator China percaya bahwa Apple mengenakan biaya yang terlalu tinggi untuk pengembang lokal. Mereka juga percaya bahwa langkah ini membatasi persaingan dan dapat menyebabkan harga yang lebih tinggi bagi konsumen.
Kekhawatiran lainnya, tidak seperti Android, Apple tidak mengizinkan toko aplikasi pihak ketiga, setidaknya untuk sebagian besar wilayah di dunia.
Perubahan terbaru pada hukum Uni Eropa memaksa Apple untuk mengizinkan toko aplikasi pihak ketiga untuk pengguna iOS. Namun, perubahan ini hanya mempengaruhi pengguna di Uni Eropa sementara tidak ada yang berubah untuk seluruh dunia.
Hal ini memaksa pengembang lokal China hanya mengandalkan sistem pembayaran Apple dan App Store, yang membuat mereka terkena potongan 30%.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa Apple dapat diberi kesempatan untuk membuat perubahan yang diperlukan. Jika tidak, pemerintah China akan meluncurkan penyelidikan resmi. China cukup ketat, terutama dalam hal perusahaan asing.
Namun terlepas dari itu, Apple telah menikmati hubungan yang kuat dengan China. Mengingat populasi China yang sangat besar, negara ini merupakan pasar utama bagi Apple dan menyumbang sebagian besar penjualan iPhone.
Selain itu, Apple memiliki kemitraan manufaktur dengan berbagai perusahaan China seperti Foxconn, yang bertanggung jawab untuk merakit berbagai produk Apple.
Tidak seperti banyak perusahaan Barat lainnya, perusahaan ini berkembang pesat di pasar China. Namun, penyelidikan ini bisa jadi akan merenggangkan hubungan tersebut. Apple secara historis sangat menentang perubahan, bahkan ketika menyangkut hukum dan peraturan setempat.
Dilansir detiKINET dari Android Headlines, Jumat (7/2/2025), sebelumnya Apple pernah memprotes berbagai perubahan yang dituntut oleh Uni Eropa terhadap perusahaan teknologi. Ini termasuk mengizinkan toko aplikasi pihak ketiga, metode pembayaran alternatif, dan penerapan paksa USB-C sebagai standar pengisian daya baru.
Namun, Apple relatif diam saja terhadap perubahan di pasar China. Misalnya, ketika China mengesahkan undang-undang yang mengharuskan penghapusan VPN yang tidak disetujui, Apple dengan senang hati mematuhinya. Perusahaan ini juga membatasi akses ke konten tertentu sesuai dengan undang-undang sensor China.
(jsn/rns)