Jakarta –
Apple, raksasa teknologi asal Amerika Serikat, menghadapi gugatan senilai USD 1,2 miliar atas tuduhan gagal menghentikan distribusi materi pornografi anak. Gugatan ini diajukan oleh seorang wanita berusia 27 tahun yang menjadi korban pelecehan seksual di masa kecilnya.
Menurut laporan The New York Times, Jumat (13/12/2024) wanita tersebut dilecehkan oleh seorang anggota keluarga pria saat masih bayi. Pelaku mengambil foto-foto tindakan keji itu dan membagikannya secara online. Meskipun pelaku akhirnya ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara, foto-foto tersebut terus beredar di internet.
Korban, yang identitasnya dirahasiakan, menyatakan bahwa ia dan ibunya terus dihantui oleh pemberitahuan dari pihak berwenang terkait penangkapan orang-orang yang memiliki gambar-gambar tersebut.
“Sulit dipercaya ada begitu banyak di luar sana, mereka tidak berhenti.” katanya.
Pada akhir 2021, korban menerima pemberitahuan bahwa gambar-gambar tersebut ditemukan di MacBook milik seorang pria di Vermont. Penyelidikan lebih lanjut mengungkap bahwa file-file itu juga tersimpan di layanan iCloud Apple.
Korban memutuskan untuk menggugat Apple karena merasa perusahaan tersebut gagal memenuhi janjinya untuk melindungi para korban. Gugatan yang diajukan di California Utara tersebut mencakup potensi kompensasi untuk hingga 2.689 korban.
Berdasarkan hukum AS, setiap korban pelecehan seksual anak berhak menerima minimal USD 150.000 dalam bentuk ganti rugi, yang berarti Apple berpotensi membayar lebih dari USD 1,2 miliar jika dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Gugatan tersebut menyoroti NeuralHash, alat yang diperkenalkan Apple pada 2021 untuk mendeteksi materi pelecehan seksual anak di perangkat iPhone. Teknologi ini dirancang untuk mencocokkan tanda digital (hash) dari gambar yang ada di layanan iCloud dengan database materi pelecehan yang dikenal.
Namun, Apple membatalkan implementasi teknologi ini setelah mendapat kritik dari para ahli keamanan siber yang menyatakan bahwa hal tersebut berpotensi digunakan untuk pengawasan oleh pemerintah.
Menurut gugatan, Apple dianggap menjual produk yang cacat karena memperkenalkan desain yang disebut-sebut mampu melindungi anak-anak, tetapi gagal mengimplementasikannya. Gugatan ini juga meminta Apple untuk mengubah praktik bisnisnya, tidak hanya memberikan kompensasi.
Dalam tanggapannya, juru bicara Apple, Fred Sainz, menyebut materi tersebut sebagai hal yang mengerikan dan menegaskan bahwa perusahaan berkomitmen untuk melawan eksploitasi anak tanpa mengorbankan keamanan dan privasi pengguna.
Apple juga dikritik karena kurang aktif dalam melaporkan materi pelecehan anak dibandingkan perusahaan teknologi lainnya.
Laporan The Guardian menyebutkan bahwa Apple hanya mengajukan 267 laporan materi pelecehan anak ke Pusat Nasional untuk Anak Hilang dan Dieksploitasi (NCMEC) di AS, jauh lebih rendah dibandingkan Facebook dan Google yang masing-masing mengajukan lebih dari satu juta laporan.
Richard Collard, Kepala Kebijakan Keamanan Anak Daring di NSPCC (National Society for the Prevention of Cruelty to Children), menyatakan, “Ada perbedaan mencolok antara jumlah kejahatan gambar pelecehan anak di layanan Apple dan rendahnya jumlah laporan yang mereka ajukan ke pihak berwajib.”
Gugatan ini menjadi peringatan bagi Apple untuk memperbaiki pengawasan dan melindungi pengguna, terutama anak-anak, dari eksploitasi.
*Artikel ini ditulis oleh Dita Aliccia Armadani, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(fay/fay)