
Jakarta –
Pakar telekomunikasi Kamilov Sagala mengungkapkan sejumlah faktor yang bikin tarif internet di Indonesia selama ini mahal dibandingkan negara di kawasan Asia Tenggara. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) berambisi untuk menghadirkan kecepatan internet 100 Mbps dengan harga Rp 100 ribuan.
Kamilov memaparkan industri telekomunikasi merupakan salah satu sektor sensitif, baik dari harga maupun persaingan usaha. Saat ini harga layanan telekomunikasi ditentukan banyak faktor seperti harga infrastruktur, beban regulasi (regulatory cost) yang harus ditanggung, layanan yang akan diberikan serta target konsumen yang menjadi objektif perusahaan telekomunikasi.
Selama ini salah satu komponen yang membuat harga layanan telekomunikasi di Indonesia mahal menurut Kamilov adalah tingginya beban regulasi yang ditanggung perusahaan telekomunikasi. Jika pemerintah ingin harga layanan telekomunikasi di Indonesia murah dan berkualitas baik, Kamilov berharap pemerintah diminta dapat memangkas regulatory cost yang saat ini besar.
Adapun beban regulasi yang terjadi sekarang ini berkisar di angka 14%. Agar industri telekomunikasi dalam negeri bisa berkelanjutan dan menciptakan layanan internet berkualitas, maka beban regulasi tersebut mesti ditekan 10%.
“Negara seharusnya menghitung ulang lagi regulatory cost tersebut, agar industri dapat bergerak secara benar dan baik, sehingga nantinya industri telekomunikasi ini menjadi seksi dan menjadi daya tarik bagi investor baru. Sebab jumlah penduduk Indonesia yang besar merupakan aset terbaik untuk industri digital ke depannya,” tutur Kamilov di Jakarta beberapa waktu lalu.
Menurut Kamilov, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) selama ini mendapatkan penghasilan atas sumber daya terbatas yaitu, frekuensi dengan melakukan lelang. Dengan lelang itu ada pendapatan negara bukan pajak PNBP di Komdigi.
Selain itu, Komdigi juga mengenakan kewajiban pelayanan universal (USO) untuk setiap pendapatan kotor yang didapatkan operator telekomunikasi. Semua beban ini masuk kedalam regulatory cost.
Jika dibandingkan dengan negara di kawasan ASEAN, Kamilov menilai regulatory cost di Indonesia terbilang sangat tinggi. Jika struktur biaya di hulu sudah sangat tinggi, lanjut Kamilov, pasti harga layanan yang diterima konsumen di hilir sudah pasti lebih mahal.
Di sisi lain, keberadaan layanan over the top (OTT) juga terus menggerus pendapatan operator telekomunikasi. Bisnis digital dinikmati OTT, sedangkan yang membangun pondasinya mengalami situasi sulit.
“Kehadiran OTT ini tentu saja menggerus pendapatan operator telekomunikasi. Harusnya regulator dapat bersikap adil, transparan, terbuka dan ketat dalam melakukan pengawasan,” ungkap mantan Komisioner BRTI ini.
Mengenai lelang frekuensi 1,4 GHz, Kamilov meminta agar Komdigi mempertimbangkan dengan betul akan aspek persaingan usaha. Keterlibatan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di seleksi spektrum tersebut turut dinanti untuk menghindari adanya kerugian negara dan masyarakat.
“Jangan sampai dalam membuat kebijakan lelang frekuensi 1,4 GHz ini, Komdigi tak melibatkan masyarakat dan KPPU. Jangan sampai negara dirugikan akibat kebijakan lelang frekuensi 1,4 GHz,” pungkas Kamilov.
(agt/fyk)