
Banjir parah yang melanda Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) seakan ledakan dahsyat dari bom waktu alih fungsi lahan di Puncak, Bogor, Jawa Barat. Bukan takdir alam, melainkan tragedi kebijakan yang mengorbankan lingkungan, 70 hektar hutan hilang.
Puncak yang seharusnya menjadi daerah resapan air, kini dipenuhi bangunan-bangunan yang berkontribusi besar terhadap banjir. Penyegelan dan perobohan bangunan seperti Hibisc Fantasy menjadi langkah yang diambil, namun kerusakan yang ditimbulkan sudah sangat parah.
“Ketika hulunya dirusak, maka ini akan berdampak juga di hilir. Nah sekarang itu lebih parah lagi, langsung kejadian atau kita diperlihatkan dampak (kerusakan) itu langsung kejadian di lokasi itu sendiri,” ujar Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Prayoga, dalam acara FGD Rencana Revisi Undang-Undang Kehutanan di Jakarta, Selasa (18/3/2025).
Juru kampanye Forest Watch Indonesia, Anggi Putra Prayoga (Muhammad Lugas Pribady/detikcom)
|
Anggi menegaskan bahwa kerusakan hutan dan alih fungsi lahan yang tidak semestinya adalah sumber utama banjir.
“Karena hutannya dirusak, kedua, juga alih fungsi. Alih fungsinya dari mana? Yang tadinya daerah resapan air kemudian dibangun objek-objek wisata, pembangunan jalan, dan lain halnya,” kata dia.
Analisis FWI menunjukkan penyusutan kawasan lindung di wilayah Kabupaten Bogor hingga 70 ribu hektar.
“Hutan yang dikonversi, yang awalnya pembangunan itu direm maka ketika jadi fungsi budidaya pembangunannya lebih masif seperti yang terjadi saat ini,” kata Anggi.
Anggi menekankan pentingnya revisi Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dia berharap revisi itu bisa mengembalikan lingkungan yang rusak dan memberikan sanksi tegas kepada perusak alam.
“Satu kembalikan lagi fungsi lindung di kawasan Puncak, Bogor, dengan cara apa? Dengan cara reforestasi. Reforestasi seperti apa? Gerakan masyarakat-masyarakat untuk menanam, untuk menjaga lingkungan mereka,” dia menegaskan.
Anggi juga menyebutkan perlunya insentif untuk masyarakat dan tanggung jawab konkret dari pemerintah, terutama Pemerintah Kabupaten Bogor, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kota yang terdampak, melalui alokasi anggaran untuk reforestasi.
Anggota Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI), Sunaryo, menjelaskan pentingnya sikap tegas pemerintah untuk menjaga kawasan Puncak.
“Harus punya sikap yang kuat bahwa kawasan Puncak itu harus dijadikan kawasan hijau, kalaupun dibutuhkan saran fisik, harus terbatas, dan dijamin tidak menimbulkan banyak dampak negatif. Boleh dibangun tapi terbatas hanya untuk kepentingan yang sangat urgent,” katanya.
Sunaryo juga menekankan pentingnya kontrol terhadap pemukiman dan penanganan pelanggaran yang lebih cepat.
“Pemerintah harus mengontrol dan sesegera mungkin pemerintah kalau terjadi pelanggaran harus menangani. Sekarang ya contoh yang dibongkar oleh (Pemprov) Jawa Barat itu Hisbic lantas ada jalan, jembatan itu, kenapa nggak dari dulu? Pada saat perizinan itu keluar,” kata Sunaryo.