Jakarta –
Tingginya harga tiket pesawat menjadi sorotan. Pengusaha maskapai menyebut kondisi ini disebabkan oleh tingginya biaya penerbangan, termasuk sederet pajak yang dikenakan ke bisnis ini.
Menurut Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia (Indonesia National Air Carriers Association/INACA), biaya pajak masuk dalam komponen non operasional penerbangan. Namun, jumlahnya sangat tinggi.
Ketua Umum INACA, Denon Prawiraatmadja, memaparkan ada berbagai pajak dan bea masuk yang diterapkan secara berganda. Denon menjelaskan selama ini pengusaha maskapai dibebankan pada pajak untuk avtur, pajak dan bea masuk untuk pesawat dan suku cadangnya.
Untuk suku cadang saja sudah dikenai bea masuk harus ditambah lagi untuk membayar PPN dan PPNBM-nya. Kemudian, PPN juga berlaku untuk setiap tiket pesawat yang dijual ke masyarakat. Denon menilai sederet pajak berganda ini cuma dirasakan pengusaha maskapai di Indonesia saja.
“Dengan demikian terjadi pajak ganda. Padahal di negara lain pajak dan bea tersebut tidak ada,” kata Denon dalam keterangannya, Rabu (17/7/2024).
Denon juga menyoroti adanya biaya layanan kebandarudaraan bagi penumpang (Passenger Service Charge/ PSC) yang dimasukkan dalam komponen harga tiket. Hal ini membuat harga tiket pesawat terlihat lebih tinggi.
Biaya PSC sendiri tidak masuk kantong pengusaha maskapai, namun masuk ke pengelola bandara. Sifatnya seperti ‘pajak’ yang dibebankan kepada penumpang untuk pengelola bandara.
“Penumpang tidak mengetahui bahwa PSC itu bukan untuk maskapai tetapi untuk pengelola bandara. Namun karena berada dalam satu komponen, maka penumpang menganggap itu adalah bagian tiket pesawat dari maskapai,” ujar Denon.
Biaya Avtur Cs
Tiket pesawat mahal juga dipengaruhi oleh biaya tinggi dari operasional penerbangan. Misalnya saja harga avtur, Denon bilang saat ini harga avtur di Indonesia lebih tinggi dibanding negara lain.
“Harga avtur saat ini lebih tinggi dibandingkan beberapa negara tetangga,” kata Denon.
Kemudian seringkali terjadi ada antrean pesawat di darat untuk terbang dan antrean pesawat di udara untuk mendarat. Menurutnya, semakin lama pesawat menunggu dan antre maka potensi bahan bakar yang boros terbuang pun makin besar.
Belum lagi ada juga biaya kebandarudaraan dan layanan navigasi penerbangan dan lain-lain yang harus dibayar pengusaha untuk menerbangkan pesawatnya.
Denon juga mengatakan sebagian besar biaya penerbangan pun terpengaruh secara langsung maupun tidak langsung dengan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah. Sementara beberapa waktu ini, nilai tukar dolar memang sedang menggencet rupiah.
“Dengan demikian, bila semakin kuat nilai dolar AS terhadap rupiah, maka biaya penerbangan akan ikut naik,” kata Denon.
(ily/eds)