Jakarta –
Olga Loiek, seorang warga Ukraina yang kuliah di University of Penssylvania, kesal betul saat tahu ia tiba-tiba “menjadi” warga negara Rusia yang fasih bahasa Mandarin. Lho, kok bisa?
Loiek memang membuat sebuah akun YouTube pada November 2023 lalu. Perempuan berusia 21 tahun itu mau mempunyai audiens di dunia maya. Dan, ya, ia memang mendapat banyak penonton. Namun bukan di akun yang benar-benar miliknya.
Wajah Loiek dicuri dan dijadikan basis untuk banyak akun fiktif, salah satunya adalah “Natasha” yang mengaku seorang warga negara Rusia dan fasih berbahasa Mandarin. Natasha ini tenar di platform media sosial China, dan sukses mengeruk keuntungan dari akun fiktif tersebut.
Dalam video yang diposting di akun Natasha tersebut, ia sering memuji pemerintah China karena mendukung Rusia. Ia pun menjual produk seperti permen asal Rusia di akun yang punya ratusan ribu pengikut itu di China.
“Ini benar-benar seperti wajah saya dipakai untuk berbicara bahasa Mandarin, dan di latarnya, saya melihat Kremlin dan Moskow, dan saya memuji betapa hebatnya Rusia dan China. Ini benar-benar menakutkan, karena ini adalah hal yang tak mungkin saya katakan di kehidupan ini,” kata Loiek.
Kasus Loiek ini adalah salah satu contoh dari banyak kasus serupa. Saat ini, menurut Reuters, semakin banyak “wanita Rusia” yang muncul di jejaring media sosial China dan memuji-muji Negeri Tirai Bambu tersebut dengan bahasa Mandarin yang sangat fasih. Mereka mencari dukungan untuk Rusia dalam perang dengan Ukraina dengan menjual berbagai barang impor dari Rusia.
Contohnya saja akun yang dibuat menggunakan wajah Loiek, punya ratusan ribu pengikut dan sudah menjual produk senilai puluhan ribu dolar, salah satunya adalah permen asal Rusia.
Menurut ahli yang dikutip Reuters, tentu saja “wanita Rusia” ini tak benar-benar ada. Modusnya selalu sama, yaitu mencuri wajah seseorang di internet yang kemudian diubah menggunakan deepfake.
Menurut Jim Chai, CEO perusahaan pengembang teknologi AI XMOV menyebut teknologi yang dipakai di kasus semacam ini sudah tak aneh lagi karena banyak yang menggunakan di China.
“Contohnya, untuk membuat versi digital dari manusia 2D saya, saya hanya butuh merekam video berdurasi 30 menit, dan setelah selesai, saya mengerjakan ulang videonya. Tentu saja ini akan terlihat sangat nyata, dan tentu saya jika anda mengubah bahasanya, hal yang perlu diatur hanyalah bagian lip-sync,” kata Chai.
Kasus semacam ini semakin meningkatkan kekhawatiran atas penyalahgunaan AI untuk menyebarkan hoax, berita palsu, dan sejenisnya, yang belakangan ini memang terus meningkat seiring dengan makin populernya sistem generatif AI seperti ChatGPT.
Pada Januari lalu, China sudah mulai menyusun peraturan untuk menstandardisasi industri AI, dan mengajukannya ke lebih dari 50 negara dan industri untuk menjadi standar pada 2026 mendatang.
(asj/jsn)