Jakarta –
Peneliti Meteorologi di Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Deni Septiadi membeberkan analisisnya tentang turbulensi yang dialami Singapore Airlines rute London-Singapura. Apakah turbulensi berkaitan dengan iklim?
SQ321 yang menggunakan pesawat jenis Boeing 777-300 ER mengalami turbulensi pada Selasa (21/5/2024). Pesawat itu terbang dari London, Inggris ke Singapura. Namun karena turbulensi parah, pesawat tersebut terpaksa melakukan pendaratan darurat di Bangkok.
Beberapa orang luka-luka dan satu penumpang meninggal dunia.
Boeing merupakan jenis pesawat dengan bobot yang sangat berat dan memiliki ukuran hampir dua kali apabila dibandingkan 737-800 yang biasa digunakan maskapai dalam negeri.
Deni mengatakan dengan spesifikasi pesawat tersebut pesawat SQ321 itu lebih stabil goncangan atau turbulensi dibandingkan jenis pesawat lain yang lebih kecil.
“Jenis-jenis turbulensi baik termal (pemanasan permukaan), konvektif (awan badai) ataupun mekanik akibat kekasaran permukaan dan topografi seta pegunungan (orografi) dapat diabaikan,” kata Deni dalam keterangan tertulis, Jumat (24/5).
Deni juga melihat ketinggian jelajah SQ321 yang ada di atas 11 km sebelum terjadi turbulensi. Deni menyebut dengan ketinggian tersebut cenderung aman dari turbulensi (safe flight altitude). Sebab, aliran fluida cenderung laminer serta dengan sistem radar cuaca pesawat yang canggih melewati awan badai. Sehingga, turbulensi harusnya masih bisa diredam oleh pesawat.
Namun faktanya, pesawat Singapore Airlines itu ternyata mengalami ‘severe turbulence’ dengan perubahan ketinggian secara tiba-tiba hingga 500 kaki atau 152 meter.
“Jelas bahwa penyebab turbulensi parah ini merupakan unpredictable phenomena, yaitu Clear Air Turbulence (CAT) yang merupakan turbulensi pada fair weather sehingga sulit diantisipasi pilot dan tidak terlihat pada radar pesawat,” ujar Deni.
Deni menerangkan di Belahan Bumi Utara (BBU) terdapat dua aliran jet stream yaitu di kutub dan di sub tropis. Daerah sekitar Lembah Irrawaddy, Myanmar merupakan daerah yang rentan dilewati oleh aliran Jet Stream (sub-tropical jet stream).
Lalu, berdasarkan analisis data fluida pada ketinggian 250 mb (10-12 km di atas permukaan laut) terdapat aliran baratan dengan kecepatan di atas 60 knot (111 km/jam).
“Sub-tropical jet stream ini menjadi indikasi terjadinya Clear Air Turbulence (CAT) yang mengakibatkan pesawat terguncang hebat,” kata Deni.
Deni menyebut turbulensi yang dialami SQ321 ini menunjukkan faktor CAT tetap menjadi tantangan besar bagi pesawat modern yang telah dilengkapi dengan teknologi canggih dan desain yang stabil.
“Edukasi kepada penumpang tentang pentingnya selalu mengenakan sabuk pengaman dan penelitian lebih lanjut tentang pola aliran udara di atmosfer dapat membantu mengurangi risiko cedera akibat turbulensi di masa depan,” kata Deni.
“Turbulensi ini juga menyoroti perlunya peningkatan sistem prediksi dan deteksi turbulensi untuk membantu pilot mengambil langkah-langkah mitigasi yang lebih efektif,” dia menambahkan.
***
Artikel ini sudah lebih dulu tayang di CNN Indonesia. Selengkapnya klik di sini.
Simak Video “Pernyataan Belasungkawa CEO Singapore Airlines Atas Insiden Turbulensi“
[Gambas:Video 20detik]
(fem/fem)