
Jakarta –
Hidup James Nestor berantakan. Berbulan-bulan mentalnya terganggu, tubuhnya sakit-sakitan. Konsultasi ke dokter tak membuahkan hasil, lalu diarahkan ke kursus bernapas. Di sanalah dia menemukan keajaiban.
Nestor adalah penulis sains populer asal Amerika Serikat (AS). Dia bertualang menggali teknik bernapas kuno lintas negara, Yunani hingga India. Juga China. Menurut dia, napas adalah sumber kekuatan dan penentu kualitas hidup yang telah lama ‘dilupakan’.
Dalam Breath (2020), Nestor awalnya ragu cara bernapas mempengaruhi kehidupan. Duduk bersila dengan mata terpejam selama 20 menit di tempat kursus, dia merasa sia-sia dan konyol. Tak terjadi sesuatu yang istimewa selain sesal dan rasa kesal.
Sesi latihan napas dengan iringan musik musik itu berdurasi sejam. Meski menggerutu dalam batin, Nestor tetap mengikuti perintah instruktur. Duduk memejamkan mata, menikmati tarikan dan memainkan embusan napas perlahan. Nah, ketika musik pengiring berakhir, dia merasa aneh.
“…saya membuka mata. Ada yang basah di kepala. Saya mengangkat tangan untuk mengelapnya dan menyadari rambut saya basah kuyup. Saya mengusap wajah, mata terasa perih oleh keringat, dan terasa asin. …suhu ruangan itu sekitar dua puluh derajat Celsius…Tetapi saya basah kuyup oleh keringat, seakan-akan baru selesai lari maraton,” tulis Nestor.
Dari waktu ke waktu, latihan napas membuat Nestor jauh lebih baik. Dia keluar dari kekacauan hidup, lebih tenang. Hidupnya tak lagi berantakan.
Apa yang sebetulnya terjadi? Bagaimana napas membuatnya lebih baik? Apa yang salah selama ini?
Antara Praktik Kuno dan Riset Ilmiah
Kesuksesan menata hidup ‘hanya’ dengan bernapas membuat Nestor penasaran. Dia pergi ke Yunani, mengulik praktik kuno menyelam bebas di kedalaman ratusan meter di bawah laut dengan satu tarikan napas saja. Ada penyelam alami yang bisa bertahan 12 menit. Sesuatu yang kelihatannya mustahil.
Bagaimana itu bisa dilakukan? Rahasianya adalah latihan. Para penyelam, dalam wawancara dengan Nestor, menyebut kemampuan itu tidaklah istimewa. Siapapun, tua-muda, perempuan-pria, bisa melakukannya. Syaratnya berlatih membuat paru-paru bekerja lebih optimal.
Nestor menelusuri kajian-kajian tentang pernapasan. Buku-buku Tao China di era 400 tahun Sebelum Masehi sepenuhnya berfokus pada pernapasan. Soal bagaimana pernapasan menjadi obat, tergantung cara manusia menggunakannya. Mengatur napas, melambatkan, menahan, dan menelannya. Hal-hal tersebut diyakini berdampak ke tubuh dan pikiran.
Kaum Hindu, menurut kajian Nestor, menganggap napas dan roh adalah kesatuan. “…lalu ada kaum Buddhis, yang bukan saja menggunakan napas untuk memperpanjang hidup, melainkan juga mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi,” tulis Nestor.
“Bagi semua orang ini, semua budaya ini, napas adalah obat yang sangat berdaya,” tambahnya.
Tak hanya menggali teknik kuno dan ajaran tentang pernapasan, Nestor juga mencari penegasan ilmiah. Dia mempelajari riset dan mewawancarai pakar. “Mereka-periset dan pakar, menemukan bahwa 90 persen dari kita bernapas secara keliru,” tulis Nestor.
“…dan kegagalan ini telah menyebabkan atau memperparah begitu banyak penyakit menahun,” tambah Nestor.
Beberapa periset juga menunjukkan banyak penyakit modern-asma, kecemasan, hiperaktivitas, kurang perhatian, bahkan psoriasis, bisa dicegah hanya dengan mengubah cara kita menghirup dan mengembuskan napas. Tapi bagaimanakah bernapas dengan baik dan benar?
Ada banyak metode pernapasan. Ada namanya Pernapasan Yoga, Pernapasan 478, Sudarshan Kriya, Pernapasan Kotak (hirup, tahan, embuskan, tahan), dan lain sebagiannya. Masing-masing diklaim punya kelebihan dan manfaat berbeda.
Namun, menurut Nestor, prinsip utama bernapas adalah kesadaran. KIta harus menyadari sepenuhnya tarikan napas dan proses mengembuskannya.
Prinsip lainnya adalah menghirup dan mengembuskan napas perlahan. Dalam keseharian, kita kerap bernapas ala kadarnya, juga asal-asalan. Menghirup dan mengembuskan nafas perlahan terbukti memicu hormon perasaan-enak (serotinin dan oksitosin). Itu sebabnya ketika kita grogi atau stres, menghirup napas panjang membuat lega dan lebih tenang.
Selain itu, napas yang baik fokus ke hidung. Selama ini, para ilmuwan menganggap bernapas melalui hidung dan mulut sama saja. Faktanya beda. Nestor dan sejumlah orang melakukan eksperimen bernapas melalui mulut selama 10 hari. Mereka beraktivitas biasa. Berolahraga, kerja, dan lain sebagainya.
Eksperimen itu memicu ‘responden’ gampang tersedak, kadar oksigen turun. Nestor sendiri mengaku dengkurannya meningkat 4.800-an persen. Bernapas melalui mulut juga mengubah jalur napas. Efek jangka panjangnya yakni mengubah struktur belakang mulut dan hidung.
“Bernapas melalui mulut menghancurkan kesehatan kami,” tulis Nestor.
******
Rasanya memang lucu mempelajari cara bernapas dengan benar. Sebab, semua yang hidup pasti bernapas. Itu tindakan otomatis, tak perlu dipelajari. Persis seperti ikan yang tak perlu belajar bagaimana cara berenang, melaju zigzag di air, hingga berhenti di tengah arus.
Tapi mungkin begitulah kita, manusia yang mengklaim menjunjung tinggi akal dan pengetahuan ini. Kadang tak menyadari hal-hal sederhana. Juga kerap abai dan menyepelekan sesuatu yang ada pada diri sendiri.
Triono Wahyu S, Jurnalis detikcom dan penikmat sains populer.
Simak Video “Pria yang Hidup dalam Paru-paru Besi Selama 7 Dekade Tutup Usia“
[Gambas:Video 20detik]
(trw/up)