
Jakarta –
Banjir besar yang melanda Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) pada awal Maret lalu kembali menyoroti akar permasalahan pelik di kawasan Puncak dan sekitarnya. Andreas Pramudianto, dosen Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, menuding inkonsistensi kebijakan dan kurangnya ketegasan penegakan peraturan sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan yang berujung pada bencana.
“Keppres 114/1999 yang menetapkan kawasan Bopunjur (Bogor, Puncak, Cianjur) sebagai kawasan konservasi air dan tanah, sayangnya tidak konsisten dijalankan,” kata Pramudianto dalam perbincangan dengan detikTravel beberapa waktu lalu.
“Padahal, Keppres itu sudah ada sejak 1999, dan seharusnya bisa menjadi acuan kuat untuk menentukan ruang-ruang wilayah resapan air,” dia menambahkan.
Ketidakkonsistenan itu, menurut Pramudianto, terlihat dari pelaksanaan kebijakan yang “kadang dilaksanakan, kadang enggak,” sehingga memicu pembiaran yang meluas. Pembiaran itulah yang kemudian membuka peluang bagi maraknya alih fungsi lahan, baik yang berizin maupun tidak.
“Keppres itu mungkin sudah dilakukan beberapa kali, tetapi tidak konsisten. Kadang dilaksanakan, kadang enggak, akhirnya banyak pembiaran, makin lama makin meluas, dan mengakibatkan wilayah itu kehilangan fungsi lindungnya,” kata dia.
“Sementara itu, pembiaran ini membuat baik yang berizin dan tidak berizin menganggapnya sebagai peluang. Yang berizin membangun, yang tidak berizin juga membangun. Itu menjadi problem yang serius,” dia menegaskan.
Momen Krusial untuk Restorasi Kawasan Puncak
Pramudianto meminta agar banjir yang melanda Jabodetabek pada Maret lalu dijadikan pelajaran. Ia menilai sebagai “momen yang paling bagus untuk memulai upaya mengembalikan fungsi yang lebih baik” di kawasan Puncak.
“Niat untuk memelihara sisa-sisa hutan yang ada di kawasan tersebut dinilai sebagai langkah positif,” ujarnya.
Namun, upaya restorasi ini membutuhkan kerja sama yang solid antar wilayah. Pramudianto menekankan pentingnya peran Badan Kerja Sama Antarwilayah (BKSP) yang melibatkan Kabupaten Cianjur, Sukabumi, dan Bogor.
“Memang ada beberapa kabupaten di situ, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor, yang harus bekerja sama. Tidak bisa sendiri-sendiri. Badan kerja sama antarwilayah yang dulu dibentuk (BKSP) seharusnya sudah berfungsi. Apakah fungsinya itu didengar atau tidak oleh masing-masing kabupaten?” tanyanya.
UU Lingkungan dan Tata Ruang yang Lebih Tegas
Pramudianto juga menyoroti pentingnya Undang-Undang (UU) lingkungan yang lebih tegas dan jelas. Ia menilai UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), lebih kuat karena mencantumkan konsep ekoregion, namun kemudian mengalami perubahan setelah disahkannya UU Cipta Kerja.
“Ekoregion itu menjadi syarat utama untuk memperbaiki tata ruang,” kata dia.
“Karena pada UU itu ada ekoregion, yang menjadi syarat utama untuk memperbaiki satu ruang. Ada persyaratan satu ruang yang baik itu memenuhi inventarisasi lingkungan, termasuk kajian lingkungan hidup strategik, untuk melihat daya dukung dan daya tampung di sana, untuk menentukan tata ruang,” dia menjelaskan.
Selain itu, Pramudianto menekankan pentingnya visi dan misi kepala daerah dalam melindungi kawasan Puncak.
“Ada visi misi Bupati Cianjur, Bogor, Sukabumi, harus dilihat apakah sama. Kalau tidak sama, ya tidak ada komitmen bersama,” katanya.
Daya Dukung dan Penyelamatan Sungai
Pramudianto menekankan pentingnya melihat kembali daya dukung dan daya tampung kawasan Puncak. Dampak kerusakan lingkungan sudah dirasakan saat ini, terutama pada kondisi sungai.
“Dampaknya dirasakan saat ini, sungai-sungai ini harus diperbaiki selain tata ruang. Sungai ini banyak problem, semakin mengecil karena sudah diduduki oleh pihak yang tidak punya hak, baik yang mewah maupun yang tidak mewah,” kata dia.
“Jadi, harus melebarkan sungai, dan yang kedua, harus membangun wilayah resapan di sekitar sungai. Karena sumber banjir itu berasal dari aliran yang tidak memadai, luapan itu ke mana-mana,” dia menjelaskan.
Data Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa hutan sebagai daerah resapan air di kawasan Puncak telah banyak beralih fungsi menjadi bangunan, termasuk tempat wisata. Sisa hutan di tiga Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu Ciliwung, Kali Bekasi, dan Cisadane, rata-rata tersisa di bawah 30 persen dari luas DAS. Sisa hutan di DAS Ciliwung hanya 14 persen, Kali Bekasi 4 persen, dan Cisadane 21 persen.
“Aturan harus dijalankan dengan tegas, mengubah pola penanganannya, dan dilakukan dengan pendekatan yang bisa diterima masyarakat,” kata Pramudianto.
(fem/fem)