
Jakarta –
Kecerdasan buatan atau Artificial intelligence (AI) terus berkembang dengan pesat hingga dianggap mampu menyaingi cara manusia bekerja, belajar, dan berinteraksi. Dari mengolah data dalam hitungan detik hingga menciptakan gambar atau teks yang menyerupai karya manusia, AI kini semakin mendekati kemampuan otak manusia. Namun, apakah mungkin AI benar-benar bisa melampaui kecerdasan manusia?
Kekhawatiran terhadap AI sempat disuarakan ribuan pakar yang menyuarakan keprihatinan mereka terhadap perkembangan teknologi ini. Pada Maret 2023, organisasi Future of Life Institute bahkan mengajukan petisi untuk menangguhkan pengembangan AI selama enam bulan. Mereka menekankan bahwa sebelum AI dikembangkan lebih lanjut, perlu dipastikan bahwa dampaknya positif dan risikonya dapat dikendalikan, terutama setelah perilisan GPT-4 oleh OpenAI.
Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa AI pada akhirnya akan mampu menyaingi bahkan melampaui otak manusia dalam banyak aspek, seperti kecepatan memproses informasi dan kapasitas menyimpan data. Namun, ada juga yang percaya bahwa otak manusia tetap memiliki keunggulan yang sulit ditandingi, terutama dalam hal intuisi, kreativitas, dan pemahaman konteks sosial. Lalu, di titik mana AI dapat dikatakan lebih unggul dari manusia?
Kata Para Ahli soal Kecerdasan AI Terkini
Pengembangan kecerdasan buatan (AI) semakin masif dan mendapat perhatian besar dari berbagai tokoh teknologi dunia, termasuk Elon Musk. Di tengah kemajuan AI, muncul kekhawatiran bahwa teknologi ini bisa menggantikan peran manusia dalam berbagai bidang. Dikutip dari laporan The Sun, beberapa peneliti menemukan bahwa manusia dapat memproses informasi baru lebih cepat dibandingkan AI.
Hal ini berkaitan dengan grey matter atau “area abu-abu” di otak manusia, yang memungkinkan kita menggabungkan pengetahuan, keterampilan, dan ingatan sebelum menyempurnakan koneksi saraf untuk mengurangi kesalahan saat mengingat kembali informasi. Sebaliknya, AI belajar melalui proses eliminasi yang dikenal sebagai backpropagation, di mana kesalahan terus diblokir hingga mencapai jawaban yang benar. Proses ini membuat AI harus memproses data ratusan hingga ribuan kali sebelum bisa memahami suatu konsep.
Sebaliknya, manusia cerdas seperti Albert Einstein dapat menghubungkan ide-ide secara instan. Dr. Yuhang Song dari Oxford University, dalam jurnalnya menjelaskan bahwa pembelajaran dalam otak manusia memiliki banyak keunggulan dibandingkan AI. Ia menyoroti bahwa AI membutuhkan lebih banyak paparan data untuk belajar dan sering mengalami gangguan saat menerima informasi baru. Sementara itu, sistem biologis manusia lebih mudah beradaptasi dengan perubahan lingkungan.
Sementara itu, disadur dari laman The University of Queensland Australia, Profesor Pankaj Sah mengatakan bahwa AI kini telah menjadi bagian penting dalam kehidupan kita. Namun, untuk benar-benar memahami AI dan bagaimana perkembangannya di masa depan, kita juga perlu memahami otak kita sendiri.
“AI ada di sekitar kita-setiap kali Anda menggunakan filter foto, memilah email spam, atau melihat informasi lalu lintas di ponsel, AI sedang bekerja. Otak manusia adalah mesin paling canggih yang pernah ada, sehingga tidak mengherankan jika AI dan robotika banyak mengambil inspirasi dari cara kerja otak. Dengan efisiensi luar biasa serta kemampuan belajar dan beradaptasi, otak menjadi model utama dalam pengembangan AI,” katanya.
Di lain sisi dikutip dari Stanford Medicine, para ahli saraf otak juga mengungkap hal senada. Ivan Soltesz, Profesor Bedah Saraf dan Ilmu Saraf di Stanford, mengatakan bahwa AI suatu saat akan mampu melakukan semua yang bisa dilakukan manusia, bahkan lebih cepat dari yang kita duga. Tidak ada alasan AI tidak bisa mempelajari humor, memahami sesuatu hanya dengan sekali belajar, atau bahkan berpura-pura bertindak konyol untuk menyamarkan identitasnya sebagai mesin.
Namun, salah satu kelemahan utama AI saat ini adalah kebutuhan akan komputer berdaya besar yang perlu energi tinggi. Sehingga, penelitian harus terus dilakukan untuk menciptakan komputer yang lebih efisien, bahkan yang dapat beroperasi hanya dengan mengkonsumsi gula, seperti cara kerja otak manusia.
Kecerdasan AI Masih Jauh Tertinggal dari Otak Manusia
Kekhawatiran bahwa robot akan menggantikan manusia sering muncul dalam film-film fiksi ilmiah seperti Terminator, 2001: A Space Odyssey, dan Westworld. Nyatanya, kita masih jauh dari menciptakan robot yang benar-benar cerdas. Memang ada beberapa tugas yang bisa dilakukan AI lebih baik dari manusia, seperti menganalisis data dalam jumlah besar dengan cepat. Namun, banyak hal yang terlihat sederhana bagi manusia, seperti berjalan ke dapur yang belum dikenal dan membuat secangkir kopi, masih sulit dilakukan oleh AI.
Profesor neurobiologi Stanford, Lisa Giocomo juga menekankan bahwa keunggulan utama otak manusia adalah kemampuannya untuk beradaptasi dengan cepat dalam situasi baru. Ini adalah sesuatu yang masih sulit dilakukan AI saat ini. Otak manusia jauh lebih kompleks dibandingkan dengan mesin cerdas mana pun yang ada saat ini. Tak heran, sebab otak kita telah berevolusi selama ratusan juta tahun dengan memiliki sekitar 100 miliar sel saraf. Sementara itu, pengembangan AI modern saja baru dimulai pada 1950-an.
Perkembangan AI juga berpotensi mengalami pasang surut, tergantung pada dukungan pendanaan dan minat masyarakat. Meski memang dalam beberapa tahun terakhir, AI berkembang pesat berkat ketersediaan data besar (big data) dan kemajuan teknologi komputer, tapi AI masih membutuhkan banyak data untuk belajar.
AI berbeda dengan otak manusia yang dapat memahami sesuatu hanya dari satu pengalaman. Beberapa ahli bahkan berpendapat bahwa untuk mengembangkan AI lebih lanjut, kita harus terlebih dahulu memahami cara kerja otak dengan lebih baik.
Di masa depan, AI dan robotika diyakini akan lebih banyak membantu manusia. Teknologi seperti stimulasi otak, sudah digunakan untuk memahami fungsi otak dengan lebih baik dan bahkan dapat membantu dalam pengobatan berbagai penyakit. Jadi, alih-alih menjadi ancaman, AI memiliki potensi besar untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Meskipun AI terus berkembang pesat, manusia masih memiliki keunggulan dalam hal kesadaran, emosi, dan kemampuan adaptasi. Namun, seiring waktu, siapa yang tahu sejauh mana AI akan berkembang?
(aau/fds)