
Jakarta –
Selama musim puncak liburan, lebih dari 100 kapal ilegal membawa wisatawan ke Pulau Redang, Malaysia. Kondisi itu menyebabkan kerusakan besar pada ekosistem laut di sana.
Dikutip dari South China Morning Post, Jumat (20/2/2025) menurut ahli konservasi laut dari Reef Check Malaysia, Muhaimin Hou, sekitar 1.000 orang membanjiri pulau di lepas pantai negara bagian Trengganu itu. Jangkar-jangkar kapal dan sampah ditinggalkan di pantai itu.
Wisatawan yang tidak memahami pentingnya lingkungan sering kali memberi makan penyu atau membuang sampah sembarangan.
“Masalah dengan wisatawan harian adalah bahwa operator perahu dan pemandu mereka bukan dari Redang. Merka tidak tahu di mana harus menambatkan jangkar, mereka bahkan tidak tahu bahwa mereka tidak boleh memberi makan penyu,” kata Muhaimin.
Belum lagi perkara sampahnya, Muhaimin, mengatakan wisatawan yang berdatangan itu dengan membawa perbekalan mereka dan menyantapnya di sana. Lalu sampahnya disimpan begitu saja di area tersebut.
“Wisatawan akan berkumpul di Pantai Teluk Dalam untuk menyantap bekal makan mereka. Setelah makan, mereka membuang sampah di sana. Kami menghadapi kelebihan sampah,” keluhnya.
Redang adalah salah satu destinasi utama Malaysia yang kaya akan keanekaragaman hayati laut. Dengan keindahan terumbu karangnya, menawarkan berbagai pengalaman ekowisata seperti berenang bersama penyu di Tioman dan menyelam bersama hiu martil di Sipadan.
Menurut Kementerian Pariwisata.Malaysia, dari sektor pariwisata memberikan kontribusi sekitar 15% terhadap pendapatan tahunan Malaysia. Dan pada tahun 2024 negara ini diperkirakan menerima lebih dari 25 juta pengunjung meningkat 24% dibandingkan tahun sebelumnya.
Meskipun total pendapatan tahunan belum diumumkan, perkiraan sebelumnya menyebutkan angka sekitar 102,7 miliar ringgit (sekitar Rp 364,1 triliun).
Namun, terumbu karang di Pulau Redang masih dalam proses pemulihan karena terumbu karang di pulau tersebut merupakan salah satu yang paling terpengaruh oleh pemutihan karang global dalam setahun terakhir, yang menyebabkan 77% terumbu karang di seluruh dunia terpapar suhu laut yang sangat tinggi dan berbahaya.
Bahkan di sekitar Pulau Lima yang terletak di sebelah timur Redang, lebih dari 90% terumbu karang sudah dianggap mati. Karang yang memutih sebenarnya bisa pulih jika suhu laut kembali normal, namun sayangnya, Redang tidak seberuntung itu.
“Sebagian besar tempat tidak mendapat kesempatan untuk pulih,” ujar Muhaimin.
Kini terumbu karang di sana sudah terancam akibat pemanasan global, belum lagi ditambah ulah manusia. Sebanyak 63% dari 315 lokasi yang diteliti oleh Reef Check menunjukkan penurunan karang hidup.
Tanpa terumbu karang yang sehat, dampaknya akan sangat besar: berkurangnya ikan, rusaknya garis pantai, dan turunnya industri pariwisata. Terumbu karang bukan hanya untuk keindahan alam, tetapi juga penting untuk kehidupan laut dan perlindungan pantai.
Menurut Asisten Manajer Program Reef Check Malaysia, Adzmin Fatta, menyebut jika kerusakan berlanjut, masa depan hasil laut Malaysia akan sangat terancam.
“Analogi yang sangat sederhana adalah seseorang akan kalah dalam pertarungan satu lawan lima. Namun jika satu lawan satu, peluang untuk bertahan hidup adalah 50 persen, begitu pula dengan terumbu karang kita,” kata Adzmin.
Globalisasi dan pemanasan global mengancam kelangsungan terumbu karang dengan proyeksi kehilangan hingga 90% pada 2050. Di Malaysia, terumbu karang Redang menghadapi ancaman dari perubahan iklim dan aktivitas manusia, seperti penangkapan ikan yang merusak dan pariwisata yang berlebihan.
Sejak pemulihan usai pandemi, pariwisata massal semakin memburuk situasi tersebut. Namun, masih ada harapan dengan masyarakat lokal yang pemerintah semakin gencar melakukan langkah-langkah konservasi, seperti pelatihan operator tur dan patroli sukarelawan.
Konflik antara kepentingan ekonomi dan konservasi masih menjadi tantangan besar. Kehilangan terumbu karang dan hasil laut akan berdampak besar, terutama bagi industri perikanan yang sangat penting di Sabah, yang menyumbang seperempat produksi perikanan Malaysia.
(upd/fem)