
Jakarta –
Pendekatan komprehensif Kasubdit Renakta (Remaja, Anak, dan Wanita) Polda Nusa Tenggara Barat AKBP Ni Made Pujewati dalam menangani kasus dugaan pelecehan seksual pria difabel, I Wayan Agus Suartama (IWAS), terhadap mahasiswi menuai apresiasi. AKBP Pujewati dinilai berhasil dalam mengungkap kasus dugaan pelecehan itu hingga akhirnya dibawa ke meja hijau.
Atas perannya tersebut, AKBP Pujewati diusulkan oleh Psikolog Forensik Reza Indragiri untuk menjadi kandidat penerima anugerah Hoegeng Awards 2025. Reza mengatakan AKBP Pujewati telah sukses mengelola kasus yang melibatkan tiga pihak yang membutuhkan atensi ekstra, yaitu anak-anak, perempuan, dan penyandang disabilitas.
“Hebatnya Puje ini, isu Agus itu tersangkut dengan tiga hal yang disebut tadi itu bisa dikelola dengan bagus sekali oleh Puje sehingga betapa pun proses penegakan hukum yang masih di tingkat kepolisian pun, dari pihak Polda NTB sudah mencoba komunikasi ke kejaksaan dan ke pemasyarakatan tentang kemungkinan-kemungkinan yang harus dilakukan sekiranya tersangka suatu saat nanti disidang dan divonis bersalah,” kata Reza saat dihubungi detikcom.
Menurut Reza, aspek disabilitas sangat diperhatikan AKBP Pujewati dalam penanganan kasus dugaan pelecehan seksual itu. Selain itu, polisi juga menjaga kerahasiaan korban serta memberikan perhatian khusus terhadap aspek perempuan dan anak.
“Puje memberikan kesempatan yang sama untuk berfokus ke sisi pelaku dan memberikan perhatian ke sisi korban. Apa yang Puje lakukan itu sesungguhnya mirip dengan kalau di negara-negara diibaratkan sebagai victim impact statement,” kata Reza.
Victim impact statement yang dimaksud adalah mekanisme bagi korban menyampaikan harapan, kerugian fisik atau emosional, serta kerugian lainnya untuk dicatat sebaik-baiknya agar menjadi atensi pengadilan dan negara.
Dalam konteks itu, Reza mengaku bahwa ini adalah pertama kalinya ia melihat sebuah kasus hukum menerapkan konsep tersebut. Menurut Reza, nasib korban harus benar-benar diperhatikan dan tidak boleh dilupakan dalam penanganan sebuah kasus.
“Kesediaan untuk mengalokasikan waktu menyimak isi hati para korban mungkin masih jadi pelajaran bagi banyak personel polisi kita,” ujar dia.
Cerita dari AKBP Pujewati
detikcom kemudian menghubungi AKBP Pujewati untuk mendapatkan cerita lebih lanjut terkait penanganan kasus Agus difabel. AKBP Pujewati merupakan perwira menengah polisi lulusan Sekolah Bintara Polri. Dia kemudian melanjutkan pendidikan ke D3 PTIK dan Setukpa Polri. Setelah itu, Pujewati mengikuti pendidikan S1 PTIK dan PKN II.
Adapun jabatan yang pernah diemban AKBP Pujewati yaitu Kapolsek Senggigi 2008, Kabag Sumda Polres Mataram 2012, Wakapolres Mataram 2013-2015 dan Kabag Binopsnal Ditreskrimum Polda NTB 2016. Dia menjabat sebagai Kasubdit Renakta Polda NTB sejak 2017.
Dalam perbincangan dengan detikcom, AKBP Pujewati menceritakan awal mula Polda NTB menangani kasus pelecehan seksual yang melibatkan Agus difabel. AKBP Pujewati mengatakan pihaknya sempat ragu saat menerima laporan kasus pelecehan seksual itu.
“Namun karena ketika laporan itu kita terima kami langsung melakukan suatu langkah-langkah yang memberikan fakta hukum bahwa peristiwanya ada, kami menyimpulkan pada hari itu peristiwanya ada,” ujar AKBP Pujewati.
Polisi kemudian mendapatkan keterangan dari saksi yang menguatkan adanya kasus dugaan pelecehan seksual itu. Menurut Pujewati, dalam kasus pelecehan seksual, keterangan saksi biasanya sulit didapat.
“Kemudian yang kedua berkaitan dengan visum, ada tanda kekerasan seksual, kita langsung berkomunikasi dengan dokter. Dari pemeriksaan hasilnya sementara, itu kita kami dapatkan, dua hal itu yang menyakinkan kami peristiwa itu ada,” ujar AKBP Pujewati.
Seiring berjalannya serangkaian penyelidikan, penyidik juga mendapatkan keterangan dari saksi-saksi lain. Ditambah lagi keterangan dari korban lain yang mengaku pernah mengalami peristiwa hampir serupa.
“Kami mendapatkan saksi-saksi lainnya atau korban-korban yang speak-up mengatakan bahwa pernah mengalami peristiwa yang modusnya hampir sama dengan peristiwa yang dilaporkan,” imbuh AKBP Pujewati.
“Kemudian hal lainnya adalah kami dapatkan hasil pemeriksaan psikologis, terus terang memang pemeriksaan banyak membantu dalam kasus-kasus pengungkapan kasus-kasus kekerasan seksual, itu yang kemudian meyakinkan,” sambung dia.
AKBP Pujewati Foto: Dok Ist
|
Di samping itu, sebelum kasus Agus difabel mencuat, AKBP Pujewati juga sedang mengikuti proyek perubahan yang berfokus pada penanganan disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Saat itu dia banyak berdiskusi dengan berbagai pihak terkait penanganan kasus yang mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.
“Kita berdiskusi dengan pemerintah daerah, dengan komisi disabilitas dengan teman-teman organisasi penyandang disabilitas. Sehingga itu juga memberikan tambahan pemahaman bagi kami bagaimana kemudian kita melakukan pemenuhan terhadap hak-hak disabilitas,” kata Pujewati.
Dia menjelaskan proyek perubahan itu membahas terkait mekanisme atau pedoman beserta turunan-turunannya yang harus disiapkan penyidik dalam menangani kasus penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum. Selain itu, kata Pujewati, proyek itu juga membahas soal sarana yang aksesibel bagi para penyandang disabilitas.
Salah satu contoh penting yang disampaikan AKBP Pujewati yaitu penilaian personal saat menangani kasus Agus difabel. Penilaian personal itu sangat membantu penyidik dalam memahami kondisi Agus dalam perkara tersebut.
“Sebelum Agus diperiksa kita melakukan penilaian personal sehingga kita tahu kondisi-kondisi apa yang terjadi ada pada dirinya dan apa yang bisa dilakukan, apa yang dia tidak bisa lakukan. Kemudian ketika dia tidak bisa ,dia butuh apa, termasuk ketika kami melakukan waktu tindakan upaya paksa, boleh dibilang begitu, di tahapan penyidikan, kita banyak koordinasi meminta saran dan pendapat dalam penilaian personal itu kepada Komisi Disabilitas dan kepada psikolog,” kata Pujewati.
Dalam kasus ini, AKBP Pujewati turut bertemu dan mendengarkan pernyataan dari para korban seperti yang disebut Reza Indragiri sebagai victim impact statement. Melalui forum tersebut, dia juga berupaya mendorong proses pembuktian yang lebih maksimal dengan menghadirkan banyak ahli.
“Proses pembuktian, ini tentunya hal yang baru bagi aparat penegak hukum. Tentunya kita harus yakini secara maksimal sehingga itu yang kami sampaikan kepada Kementerian PPPA untuk menghadirkan lebih banyak ahli yang bisa mengungkap fakta peristiwa kekerasan seksual yang memang tidak semua masyarakat pahami,” ujar AKBP Pujewati.
Selain itu, lewat forum tersebut, AKBP Pujewati ingin mendorong pemulihan terhadap kondisi psikologis korban, termasuk mencatat harapan yang mereka sampaikan.
“Kedua berkaitan memulihkan kondisi psikologis korban, termasuk apa yang korban kehendaki. Melalui Kementerian PPPA kemudian kami difasilitasi untuk bertemu dengan korban, jaksa, ahli psikologi forensik dalam rangka pemulihan agar siap dalam proses persidangan termasuk apa yang dikehendakinya dalam proses penuntutan,” ujar AKBP Pujewati.
Kasus Lain yang Ditangani
Selama menjabat sebagai Kasubdit Renakta Polda NTB, AKBP Pujewati juga menangani sejumlah kasus menonjol lain termasuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), kekerasan seksual kepada anak hingga kasus pernikahan anak di NTB.
Atas dedikasinya, AKBP Pujewati menerima sejumlah penghargaan di antaranya Hassan Wirajuda Perlindungan WNI Awards sebagai Tokoh Peduli 2023 dari Menteri Luar Negeri RI, penghargaan dari Duta Besar RI di Ankara atas tindakan penegakan hukum TPPO di Turki pada 2022, penghargaan dari Menteri PPPA RI atas penyelenggaraan perlindungan khusus anak pada 2021, dan penghargaan dari Menteri Luar Negeri RI sebagai mitra kerja Kemenlu pada 2018.
(knv/hri)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu