Jakarta –
Pengamat telekomunikasi dari ITB Agung Harsoyo memberikan catatan penting kepada Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang akan melakukan lelang frekuensi 1,4 GHz. Spektrum tersebut saat ini sedang uji publik dan berakhir pada 2 Februari 2025.
Agar objektif pemerintah dapat tercapai, mantan komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia periode 2018 – 2022 ini memberikan beberapa catatan penting kepada Komdigi. Dalam lelang itu, Agung mengingatkan tentang konsolidasi industri telekomunikasi di Indonesia, di mana Komdigi telah mendorong terjadinya konsolidasi operator selular.
“Saya berharap konsolidasi industri ini dapat terus berjalan. Tak hanya di operator selular saja. Tetapi juga di penyelenggara jasa internet. Sehingga saya berharap nantinya lelang frekuensi 1,4 GHz tidak menambah jumlah operator penyelenggara jasa internet. Dengan jumlah operator selular yang saat ini ada dan anggota APJII yang mencapai 1.275 menurut saya sudah terlalu banyak. Ini tidak sehat bagi industri,” ujar Agung dalam keterangan tertulisnya, Minggu (2/2/2025).
Sebab frekuensi 1,4 GHz akan dipergunakan untuk meningkatkan penetrasi fixed broadband, sehingga Agung mengharapkan Komdigi dapat menentukan harga izin pita frekuensi radio (IPFR) yang affordable bagi industri.
Disampaikan Dosen Sekolah Teknik dan Informatika (STEI) ITB ini, kalau harga IPFR terlalu tinggi seperti selular, maka objektif pemerintah untuk menyediakan internet murah fixed broadband tak akan tercapai.
“Dari draft RPM ini Komdigi akan menggunakan frekuensi 1,4 GHz untuk penetrasi fixed broadband dan akan membagi wilayah layanan berdasarkan regional. Karena karakteristiknya beda dengan selular, maka harga IPFR harus terjangkau, sehingga BHP frekuensinya tidak bisa disamakan dengan selular,”papar Agung.
Sebagai informasi bahwa Indonesia pernah menerapkan mengalokasikan frekuensi untuk layanan Broadband Wireless Access (BWA) berdasarkan wilayah. Konsep BWA berdasarkan wilayah tersebut terbukti gagal dan seluruh perusahaan pemegang lisensi BWA menghentikan layanannya. Karena menghentikan layanannya, perusahaan BWA lokal tersebut mengembalikan frekuensi yang dikuasainya. Beberapa perusahaan adalah PT.Bakrie Telecom Tbk., PT Jasnita Telekomindo (Jasnita)dan PT Berca Hardayaperkasa.
Prinsip dasar frekuensi adalah sumberdaya terbatas yang dimiliki negara. Sumberdaya tersebut harus optimal dipergunakan untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dan negara. Karena pengalaman tersebut Agung berharap Komdigi dapat melakukan lelang frekuensi secara nasional untuk frekuensi 1,4 GHz.
“Agar terjadi persaingan usaha yang sehat, Komdigi dapat menetapkan 2 pemenang lelang frekuensi 1,4 GHz secara nasional. Dengan lebar pita 80 MHz di frekuensi 1,4 GHz memang tidak optimal untuk satu operator menyelenggarakan 5G,” kata Agung.
“Agar menciptakan persaingan usaha yang sehat Komdigi harus mempertimbangkan adanya lebih dari 1 pemain di frekuensi 1,4 GHz. Dengan adanya UU Cipta Kerja, kerjasama dan spektrum sharing dapat dilakukan untuk penerapan teknologi 5G. Sehingga objektif Komdigi untuk mewujudkan kecepatan akses sampai dengan 100 Mbps masih dapat tercapai,” sambung Agung.
Namun jika Komdigi tetap akan memberlakukan frekuensi 1,4 GHz berdasarkan wilayah, Agung menyarankan agar pembagian wilayah harus mempertimbangkan daerah yang gemuk dan daerah yang kurus serta harus melibatkan lebih dari satu operator telekomunikasi.
“Jika Komdigi tak mempertimbangkan daerah yang gemuk dan kurus, maka kecenderungannya operator yang hanya memilih daerah yang menguntungkan saja. Dan enggan untuk membangun di wilayah yang kurus. Sehingga objektif pemerintah untuk memperluas penetrasi broadband di seluruh wilayah Indonesia dengan harga yang terjangkau tak tercapai,” tutup Agung.
(agt/fay)