Yogyakarta –
Plengkung Gading di Jogja ternyata punya mitos. Sultan Jogja yang masih hidup dan berkuasa dilarang melintas di gerbang ini. Kenapa?
Kabar bakal ditutupnya Plengkung Gading oleh pihak keraton untuk dilakukan penataan membuat heboh warga Jogja. Banyak dari warga yang menggantungkan hidupnya di kawasan ini, terutama di Alun-alun Kidul yang banyak dikunjungi wisatawan.
Di balik permasalahan itu, Plengkung Gading ternyata diselimuti mitos yang ada hubungannya dengan Sultan Jogja. Konon katanya, Sultan Jogja dilarang melintasi salah satu dari 5 pintu gerbang yang mengelilingi keraton tersebut.
Di dalam buku Pisowanan Alit karya Herman Sinung Janutama, dijelaskan Plengkung Gading atau dikenal juga dengan nama Plengkung Nirbaya merupakan plengkung larangan bagi seorang raja atau sultan Jogja.
Ketika sultan jumeneng nata atau menjadi raja, ia dilarang untuk melewati Plengkung Gading. Sultan hanya boleh melewatinya ketika dia wafat atau pada upacara pemakamannya.
Mitos ini juga dibenarkan oleh KRT Jatiningrat, Penghageng Tepas Dwarapura Keraton Jogja. Larangan tersebut merupakan aturan tidak tertulis bagi raja yang lebih dikenal dengan Paugeran. Larangan ini sama derajatnya dengan pantangan Sultan untuk mengunjungi pajimatan atau makam.
“Larangan lewat Plengkung Nirbaya ini sama seperti larangan ke pajimatan,” ujar KRT Jatiningrat, yang lebih akrab disapa Romo Tirun Jumat (17/6/2022) silam.
Larangan melewati Plengkung Gading itu sudah ada sejak masa pemerintahan Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Plengkung Gading berhubungan erat dengan ritual pemakaman Sultan, khususnya ketika kereta jenazah Sultan melewati pintu tersebut menuju makam di Imogiri. Romo Tirun menambahkan bahwa aturan tentang jalur iring-iringan kereta jenazah sultan sudah diatur dengan rinci.
“Ada paugerannya, dari mana keluarganya, lewat mana saja? Itu sudah ada,” katanya.
Mitos Lain yang Dipercaya Masyarakat Jogja
Selain adanya aturan bahwa Sultan dilarang untuk melewati Plengkung Gading, masyarakat Patehan juga memiliki kepercayaan tersendiri mengenai plengkung tersebut.
Dikutip dari buku berjudul Ngeteh di Patehan: Kisah di Beranda Belakang Keraton Yogyakarta yang ditulis Galuh Ambar Sasi dkk, ada mitos yang mengatakan ‘ora ilok mantenan lan nggotong mayit liwat Plengkung Gading’.
Arti dari kalimat itu adalah ‘tidak baik (rombongan) nikahan dan membawa jenazah melewati Plengkung Gading’.
Kalimat tersebut merupakan salah satu bentuk kearifan warga Patehan. Masyarakat percaya bahwa rombongan pernikahan atau mengangkut jenazah yang melewati Plengkung Gading bakal membawa musibah.
Hal ini berhubungan dengan kepentingan umum dan menjaga kelancaran lalu lintas di sekitar daerah tersebut. Plengkung Gading merupakan akses yang sangat vital, tetapi sempit dan padat.
Jika ada iring-iringan rombongan pengantin atau pengantar jenazah yang melewatinya, maka bisa menyebabkan kemacetan. Itu karena Plengkung Gading merupakan pintu utama masuk dan keluar dari Jeron Beteng, tetapi kondisi jalannya tidak cukup lebar untuk menampung rombongan besar.
Pada hari biasa, sudah banyak kendaraan yang melintas di sekitar Plengkung Gading. Warga merasa bahwa dengan menghindari melewati Plengkung Gading saat ada pernikahan atau pengangkutan jenazah, mereka mengutamakan kepentingan bersama.
Bakal Tertimpa Hal Buruk
Selain itu, ada mitos lain yang berkembang di masyarakat. Mereka percaya bahwa jika rombongan itu tetap memaksakan diri melewati Plengkung Gading, akan terjadi hal buruk.
Beberapa contoh yang sering didengar seperti kaca spion pecah, kendaraan mogok, hingga kecelakaan fatal. Larangan ini juga terkait dengan konsep Alun-Alun Kidul dan Sasana Hinggil yang ada di sekitar Keraton.
Alun-Alun Kidul lebih sering dikaitkan dengan suasana dukacita, terutama dalam upacara pemakaman raja. Sasana Hinggil sendiri digunakan sebagai tempat persemayaman jenazah sultan sebelum dimakamkan.
——–
Artikel ini telah naik di detikJogja.
(wsw/wsw)