
Klaten –
Ampyang buatan bu Satirah sudah diproduksi sejak tahun 1980-an. Rasanya renyah manis dan dibuat dengan bahan berkualitas sehingga bisa awet disimpan hingga 2 bulan.
Ampyang adalah panganan manis berbahan gula Jawa merah dan kacang tanah. Salah satunya diproduksi di Desa Bero, Kecamatan Trucuk, Klaten.
Pada momen Idul Fitri 2024, produsen ampyang pun banjir pesanan. Hal ini dituturkan bu Saturah, produsen Ampyang Rajawali. “Hari biasa 12 orang, ini sudah menambah tenaga sampai 20 orang tapi masih kurang-kurang untuk mencukupi pesanan Lebaran. Ada peningkatan tapi tidak bisa kita pastikan jumlahnya,” katanya kepada detikJateng di rumahnya Dusun Karangkulon, Desa Bero, Senin (8/4/2024).
Dikatakan Satirah, pesanan datang dari berbagai kota di Jawa. Namun paling banyak dari Jawa Timur dan Jawa Tengah seperti Surabaya dan Semarang.
Ampyang Rajawali produksi Satirah warga Dusun Karangkulon, Desa Bero, Kecamatan Trucuk, Klaten, Senin (8/4/2024). Foto: Achmad Hussein Syauqi/detikJateng
|
“Kebanyakan Jawa Tengah dan Jawa Timur, dari Surabaya itu rutin sebulan dua kali ambil. Yang ambil empat orang ke sini, juga ada dari Semarang,” jelas Satirah.
Satirah menceritakan, usaha ampyang itu dirintisnya sejak tahun 1982. Awalnya camilan itu dibuat oleh orang tuanya tetapi saat itu masih berbahan gula tetes tebu sehingga lebih keras teksturnya.
“Dulu pakai gula tetes tapi keras, lalu saya pakai gula Jawa merah sampai sekarang. Di awal dulu seminggu cuma bikin 5 kilogram, lalu naik 10 kilogram, saya nitip-nitip ke warung,” lanjut Satirah.
Setelah tahun 1985, sebut Satirah, dirinya mencoba menambah modal sampai akhirnya bisa produksi 50 kilogram sehari. Sekarang dalam sehari produksi ampyang sampai satu atau dua kuintal.
“Tiap hari masak, tenaga 12 orang bisa sekuintal kacang sehari. Kalau jadi ampyang sekitar dua kuintal ampyang setiap hari sejak gempa, sejak 2006,” lanjut Satirah.
![]() |
Menurut Satirah, di awal merintis usaha belum ada telepon dan internet sehingga dirinya kelilingi pasar dari toko ke toko. Namun dengan kemajuan teknologi saat ini dirinya tinggal menunggu di rumah.
“Sekarang yang mencari pelanggan, pelanggan yang datang ke sini. Facebook dan IG juga ada tapi yang ngembangkan anak-anak,” sebut Satirah.
Dikatakan Satirah, ampyang produksinya menggunakan gula merah asli dari Kabupaten Kulon Progo dan kacang bermutu yang tidak digoreng. Dengan begitu ampyang bisa awet sampai sekitar dua bulan.
“Jadi alami. Bisa awet disimpan kurang lebih sampai dua bulan dan tetap renyah,” sambung Satirah.
Ampyang produksi rumahnya, imbuh Satirah, ada yang dikemas pack berat 200 gram harga Rp 8.000, dan ada yang kemasan 2,5 kilogram. Omzet per hari berkisar Rp 5 juta pendapatan kotor.
“Kurang lebih kalau dihitung ya Rp 5 juta kotornya. Kalau untungnya ya dikit karena harga bahan baku juga sudah tinggi, ya penting bisa untuk memberi penghasilan tetangga yang kerja di sini,” papar Satirah.
![]() |
Salah satu pelanggan dari Desa Kradenan, Trucuk, Hasan mengatakan produksi ampyang Satirah sudah ada sejak sekitar 1980-an.
“Ya mungkin karena manis dan renyah jadi bertahan. Selain sini sudah tidak ada kayaknya,” ungkap Hasan kepada detikJateng di lokasi.
Pembeli lain dari Kecamatan Ceper, Hasyim mengakui kuliner khas Dusun Karangkulon adalah ampyang. Sejak dirinya masih muda sudah ada produksi itu.
“Dari dulu sini terkenal ampyang. Tapi sekarang anak-anaknya (Satirah) juga buat kue lain jadi lengkap,” kata Hasyim kepada detikJateng.
Artikel ini sudah tayang di detikjateng dengan judul “Dirintis 1980-an, Ampyang Khas Klaten Ini Laris Manis Saat Lebaran”
(adr/adr)