Jakarta –
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menuntut Apple untuk investasi besar di Indonesia. Pasalnya produk tersebut telah terjual banyak di Indonesia.
Sekretaris Jenderal Kemenperin Eko Cahyanto mengatakan penjualan produk Apple di Indonesia sepanjang 2023 mencapai Rp 50 triliun. Nilai itu untuk penjualan sekitar 2,3 juta produk iPhone, hingga iPad dan aksesorisnya.
“Total dengan Ipad dan lain-lain dan aksesoris yang mereka (Apple) jual itu sekitar Rp 50 triliun sales mereka di sini,” kata Eko dalam diskusi acara Peluncuran Laporan Perekonomian Indonesia (LPI) 2024 yang disiarkan virtual, Rabu (22/1/2025).
Dengan penjualan yang tinggi ini, pemerintah menuntut Apple berinvestasi di Tanah Air. Tujuannya supaya ada nilai tambah yang didapatkan Indonesia.
“Kami menuntut investasinya. Kami ingin agar value added-nya bisa kita dapatkan juga. Di Indonesia ini dibanding dengan negara-negara pesaing kita di Thailand atau Vietnam, kita mungkin sangat tidak penting untuk Apple dalam proses industrinya karena hanya satu supplier dari Indonesia. Ini yang kami tuntut agar apa yang kita punya, pasar kita bisa kita betul-betul jaga,” ujar Eko.
Oleh karena itu, pihak Apple diminta untuk merevisi proposal investasi agar sesuai dengan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Hal ini untuk memastikan semua barang yang dijual di Indonesia terutama yang ada kaitannya dengan kepentingan nasional, bermanfaat di dalam negeri.
“Kami tetap meminta Apple memperbaiki proposalnya agar kita dapat value added. Paling tidak mereka berinvestasi di Indonesia karena pada prinsipnya nilai investasi itu akan berbanding lurus dengan nilai TKDN-nya,” papar Eko.
Rencana Investasi Apple Cuma Rp 3,4 T
Sejauh ini Apple berencana membangun pabrik di Batam untuk produksi AirTag, aksesoris iPhone dengan nilai investasi US$ 1 miliar atau sekitar Rp 16,2 triliun (kurs Rp 16.200. Pabrik tersebut diperkirakan bisa memasok sekitar 60% kebutuhan global.
Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif mengatakan pabrik tersebut berproduksi mulai 2026 dan akan menyerap tenaga kerja sekitar 2.000 orang. Hanya saja nilai investasi riil pabrik tersebut diperkirakan hanya US$ 200 juta atau Rp 3,24 triliun, bukan US$ 1 miliar.
“Berdasarkan assessment teknokratis kami, nilai riil investasi pabrik AirTag Apple di Batam hanya US$ 200 juta. Nilai ini tentu jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai investasi US$ 1 miliar dalam proposal yang disampaikan Apple kepada kami,” ujar Febri dalam keterangan tertulis.
Berdasarkan perhitungan teknokratis Kemenperin, komponen proyeksi nilai ekspor dan biaya pembelian bahan baku tidak dapat dimasukkan sebagai capex (capital expenditure) investasi. Nilai investasi diukur hanya dari capex, yang terdiri dari pembelian lahan, bangunan dan mesin/teknologi.
Dengan masuknya proyeksi nilai ekspor dan pembelian bahan baku dalam investasi oleh pihak Apple, seakan-akan melambungkan nilai investasi lebih tinggi sampai US$ 1 miliar, padahal riil-nya hanya US$ 200 juta.
“Jika nilai investasi Apple sebesar US$ 1 miliar itu benar-benar untuk capex, seperti pembelian tanah, bangunan dan mesin/teknologi, tentu lebih baik lagi. Bayangkan jumlah tenaga kerja yang bisa terserap dengan angka investasi US$ 1 miliar, tentu akan sangat besar sekali,” tutur Febri.
(aid/rrd)