Jakarta –
Orang-orang super tajir di China dilaporkan meninggalkan negaranya lantaran pemerintah menyatakan China harus bersiap menghadapi guncangan ekonomi. Guncangan perekonomian ini akibat kenaikan tarif yang lebih tinggi, terutama usai terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS). Para jutawan China sedang bersiap pindah.
Partai Komunis China meluncurkan serangkaian langkah untuk membuat konsumen dan dunia usaha China tetap dapat membelanjakan uangnya. Hal ini untuk menghindari anjloknya mata uang China dan harga saham, sebagai upaya untuk mendorong perekonomian negara yang terhantam krisis dan merosotnya sektor properti selama pandemi.
Melansir Euro News, Sabtu (11/1/2025), laporan dari Henley & Partners, terdapat sekitar 13.800 orang kaya dari China sudah meninggalkan negara tersebut sejak 2022 karena tantangan ekonomi.
“China berencana menambah dana tunai (subsidi) untuk program kendaraan tua (clunker) dan daur ulang peralatan untuk mendorong lebih banyak pembelian model baru yang hemat energi. Daur ulang yang dimulai sejak tahun lalu ini telah mengganti sebanyak 6,5 juta kendaraan bertenaga bahan bakar dengan listrik dan hibrida sejak Juni 2024,” kata pejabat badan perencanaan utama China pada Rabu (8/1/2025).
Mereka juga menyebutkan pertumbuhan dua digit dalam beberapa bulan terakhir dalam penjualan peralatan baru. Subsidi hingga 20% dari harga jual kini akan berlaku untuk beragam jenis peralatan dan juga mencakup produk digital seperti telepon seluler. Pemerintah juga memberikan subsidi untuk perbaikan peralatan pabrik yang sudah ketinggalan zaman.
Selain itu, Wakil Menteri Kehakiman, Hu Weilie, telah mengingatkan pejabat setempat untuk tidak melakukan pemeriksaan sewenang-wenang yang mengganggu aktivitas normal. Kantor Berita resmi Xinhua mengatakan aturan baru ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, penyitaan aset secara sewenang-wenang, dan perintah yang tidak dapat dibenarkan untuk menghentikan produksi.
Menurut Perdana Menteri Li Qiang, upaya ini merupakan bagian dari kampanye yang bertujuan untuk meningkatkan lingkungan bisnis China. Langkah ini menyusul adanya keluhan bahwa puluhan pejabat telah ditahan atau asetnya disita oleh pemerintah daerah yang kekurangan uang dalam upaya untuk menjatuhkan perusahaan.
Sejauh ini, China belum mengeluarkan belanja stimulus dalam jumlah besar, dan memilih pendekatan yang lebih bertarget dan bertahap. Namun, Kepala Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional, badan perencanaan utama China Zhao Chenxin, mengatakan pemerintah berencana untuk mengumumkan obligasi negara jangka panjang dengan skala jauh lebih besar untuk membiayai pengeluaran tersebut. Namun angka spesifiknya baru akan diumumkan pada pertemuan tahunan badan legislatif nasional, yang akan diadakan pada awal Maret 2025.
Bank sentral China memutuskan untuk menjaga nilai yuan tetap stabil dan menstabilkan pasar keuangan. Mata uang China, yang juga disebut renminbi, atau uang rakyat, telah melemah terhadap dolar AS dan mata uang lainnya, sehingga memberikan tekanan pada pasar keuangannya.
Pasar sahamnya kembali melemah setelah ada kenaikan singkat pada akhir September 2024, ketika indeks Shanghai Composite melonjak hampir 3.700, dan turun kembali ke lebih dari 3.200. Yuan diperdagangkan pada angka 7,3278 terhadap dolar pada hari Rabu (8/1/2025). Harganya diperdagangkan mendekati 7 yuan terhadap dolar pada awal Oktober. Pelemahan yuan dapat membuat ekspor China lebih kompetitif namun juga berisiko membuat kecewa mitra dagang China.
Terkait hal ini, partai yang berkuasa di China hanya memberikan sedikit ruang bagi perbedaan pendapat masyarakat, dan bahkan ruang lingkup pembicaraan mengenai perekonomian pun semakin menyempit. Pihak berwenang telah menutup situs media sosial para ekonom yang menentang kebijakan, ketika mereka mencoba menggalang dukungan bagi kepemimpinan Presiden Xi Jinping.
Lembaga Think Tank Rhodium Group memperkirakan pertumbuhan ekonomi aktual China tahun lalu sebesar 2,4% hingga 2,8%, jauh di bawah perkiraan resmi sekitar 5%. Salah satu faktor besar di balik pertumbuhan yang lebih rendah dari perkiraan adalah masalah anggaran yang menghambat permintaan, seperti turunnya harga rumah dan gaji yang lebih kecil. Laporan tersebut juga mengatakan tidak ada langkah-langkah kebijakan substansial yang diumumkan yang secara substansial akan mengubah prospek ketenagakerjaan atau upah.
(fdl/fdl)