Libur akhir tahun, mari bertualang ke Palangkaraya. Di sana ada desa wisata Sei Gohong, tempat traveler bisa menyelami budaya suku Dayak hingga bertemu orang utan.
Tidak banyak yang tahu bahwa Desa Wisata Sei Gohong Palangkaraya di Kalimantan Tengah, ditetapkan sebagai satu dari 50 desa Wisata terbaik 2024 Indonesia oleh ADWI.
Mengapa desa wisata ini tidak terlalu popular bahkan oleh masyarakat Palangkaraya sendiri? Bagi pengguna bandara Tjilik Riwut, tidak akan menemukan secuilpun gambar mengenai desa Wisata Sei Gohong terpampang.
Sebagaimana pada umumnya, bandara menjadi pintu utama pameran destinasi wisata unggulan suatu daerah. Desa Wisata Sei Gohong di Kecamatan Bukit Batu berjarak sekitar 50 menit dari Palangkaraya.
Desa ini memiliki destinasi wisata yang sangat khas Kalimantan, yaitu hutan hujan -sungai lebar- orang utan dan budaya Dayak.
Memasuki lokasi desa Wisata ini, pengunjung disambut dengan rumah cagar budaya khas Dayak bernama Huma Hai (Rumah Besar). Rumah bernuansa lokal Rumah Betang itu merupakan peninggalan tokoh masyarakat pendiri desa Sei Gohong.
Tak jauh dari Huma Hai terdapat Pasah Patahu, yaitu sebuah bangunan kecil menyerupai rumah yang menjadi tempat ritual / persembahan penganut Kaharingan/Dayak Ngaju.
Menurut kepercayaan Kaharingan, tempat tersebut adalah tempat para roh halus sehingga mereka perlu memberikan sesajen untuk makan roh halus. Pasak Pasahu yang umumnya dihiasi bendera kuning adalah media perantara untuk memanjatkan doa para pemeluknya.
Setelah pengunjung melewati gerbang Desa wisata, sebuah jembatan kayu yang tidak terlalu panjang membawa pengunjung ke dermaga kecil sebagai pintu untuk menikmati susur sungai Rungan.
Pada umumnya desa Wisata ramai pengunjung, tetapi tidak pada desa Wisata Sei Gohong ini. Tanpa tiket masuk, tidak ada deretan souvenirs yang dijajakan, juga tidak ditemukan masyarakat yang membuat kerajinan. Suasana yang lengang membuat kami merasa sedikit asing.
Seorang pria muda duduk sendiri di dermaga menanti tamu asing yang sedang berkeliling pulau Kaja. Tidak ada petugas maupun wisatawan lain.
Sungai Rungan yang lebar tampak lengang, sesekali kapal motor klotok melintas membawa penumpang mengitari pulau. Pulau Kaja yang luasnya 108Ha dan Pulau Bangamat yang luasnya 62Ha adalah favorit wisatawan yang ingin melihat orangutan. Terdapat sekitar dua ratus ekor orangutan di dua pulau ini.
Kegiatan susur sungai sembari melihat satwa khas Kalimantan ini menjadi kegiatan utama wisatawan yang sayang jika dilewatkan. Dengan membayar Rp 300.000 maka kapal klotok bermuatan lima orang tersebut akan memuaskan jiwa petualang kita.
Ada peraturan bahwa pengunjung hanya bisa berada 10-15 meter dari tepi pulau kecil ini. Beberapa orangutan dewasa bermunculan di bibir hutan seolah menyambut kami. Sesaat kemudian mesin motor dimatikan demi membuat kami bisa menikmati lebih baik pemandangan menakjubkan ini.
Nyanyian serangga dan burung berpadu gesekan angin di pepohonan menghasilkan orkestra alam. Seekor induk orangutan yang sedang menggendong bayinya berada di dahan pohon besar tepat di depan kami.
Satwa dengan kesamaan DNA 97% ini merupakan orangutan yang telah lulus dari sekolah hutan di pusat Re-introduction BOSF Nyaru Menteng. Petugas membawa 300kg sampai 400kg buah-buahan segar setiap hari untuk orangutan baik yang hidup di Pulau Kaja maupun pulau Bengamat.
Hal itu terpaksa dilakukan mengingat kebanyakan mereka belum mandiri mencari makanan karena kebanyakan adalah orangutan yang diambil dari masyarakat.
Banyak orangutan kehilangan habitat akibat pembukaan lahan untuk perkebunan. Bahkan masih ada yang menganggap primata langka dililindungi ini sebagai hama.
Petugas membawa 300kg sampai 400kg untuk dua kali waktu makan berupa buah-buahan segar setiap hari untuk orangutan baik yang hidup di Pulau Kaja maupun pulau Bengamat.
Selain susur sungai di Sei Gohong terdapat juga wisata Sei Batu tempat wisatawan menikmati sungai berbatu, forest walk tempat pengunjung melihat tanaman obat khas Dayak, dan cafe terapung Atmosfeer.
Mendung kian menebal, pertanda hujan akan segera turun dan kami harus segera kembali ke dermaga. Mesin motor pun mulai dihidupkan.
Perlahan kami menjauhi hutan pulau Kaja dengan tatapan nanar induk orangutan dan bayinya, seolah berkata “Tolong jaga hutan tempat kami hidup,”