Jakarta –
Mahkamah Konstitusi (MK) menekankan kewenangan KPK dalam mengusut kasus korupsi yang melibatkan anggota militer bersama warga sipil. TNI menghormati putusan tersebut dan akan mempelajari lebih lanjut.
“TNI menghormati setiap keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berwenang di bidang konstitusi. Dalam hal ini, TNI akan mempelajari lebih lanjut putusan tersebut dan implikasinya,” kata Kapuspen TNI Mayjen Hariyanto saat dihubungi wartawan, Senin (2/12/2024).
Hariyanto menuturkan pihaknya juga akan berkoordinasi dengan KPK dan Kejaksaan Agung. Koordinasi bertujuan agar dalam pelaksanaannya putusan tersebut berjalan sesuai prinsip keadilan dan transparan serta tidak menggangu tugas pokok TNI.
“Serta berkoordinasi dengan KPK, Kejaksaan Agung dan instansi terkait untuk memastikan pelaksanaan hukum berjalan sesuai dengan prinsip keadilan dan transparansi, tanpa bertentangan dengan peraturan (UU) lain, dan tidak mengganggu tugas pokok TNI dalam menjaga kedaulatan negara,” ujarnya.
Hariyanto menjelaskan KPK berwenang untuk mengkoordinir dan mengendalikan perkara korupsi koneksitas melibatkan sipil dan TNI. Namun dia mengatakan jika perkara korupsi tersebut tidak bisa diadili secara koneksitas, maka tetap akan diadili di Pengadilan Militer.
“Jadi KPK dalam Putusan itu berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan perkara tipikor koneksitas yang sejak awal dikerjakan oleh KPK,” ucapnya.
“Namun Apabila perkara korupsi tersebut tidak bisa diadili secara koneksitas, maka militer tetap disidik oleh Polisi Militer dan diadili di Pengadilan Militer, sedangkan pelaku sipil diadili di pengadilan umum/Tipikor.
Putusan MK
Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan yang diajukan advokat bernama Gugum Ridho Putra terhadap UU KPK dan KUHAP. MK mengubah pasal yang mengatur kewenangan KPK dalam koordinasi dan mengendalikan pengusutan kasus korupsi yang melibatkan militer bersama-sama pihak sipil.
Putusan perkara nomor 87/PUU-XXI/2023 itu dibacakan dalam sidang di gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (29/11/2024). Dalam permohonannya, Gugum menggugat pasal 42 UU KPK yang berbunyi:
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum
Kewajiban bagi KPK RI untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan korupsi koneksitas sesuai ketentuan Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Ketentuan Pasal 198, Pasal 199, Pasal 200, Pasal 201, Pasal 202 dan Pasal 203 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
Dalam pertimbangannya, MK mengatakan pasal tersebut harus diberi penegasan. Menurut MK, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan atas dugaan korupsi yang dilakukan secara bersama-sama orang yang tunduk pada peradilan militer dengan peradilan umum sepanjang kasus itu memang diusut KPK sejak awal.
“Sebaliknya, terhadap perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang yang tunduk pada peradilan militer yang ditemukan dan dimulai penanganannya oleh lembaga penegak hukum selain KPK, maka tidak ada kewajiban bagi lembaga hukum lain tersebut untuk melimpahkannya kepada KPK,” ujar MK.
Hal sebaliknya juga berlaku bagi KPK. MK menyatakan KPK tidak punya kewajiban menyerahkan penanganan kasus korupsi yang ditanganinya sejak awal kepada oditurat dan peradilan militer.
MK juga menegaskan Pasal 42 UU KPK tidak menghambat hukum acara yang berlaku untuk peradilan koneksitas, terutama yang diatur dalam KUHAP. MK menegaskan KPK tak boleh ragu dalam menangani kasus dugaan korupsi yang melibatkan bersama-sama pihak militer dan sipil.
Berikut amar putusan MK:
1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian
2. Menyatakan pasal 42 UU nomor 30/2002 tentang KPK yang menyatakan ‘Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum, sepanjang perkara dimaksud proses penegakan hukumnya ditangani sejak awal atau dimulai/ditemukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi’
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya
4. Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya.
(dek/dnu)