Jakarta –
Di hadapan peserta Sarasehan Nasional, Pelaksana Tugas (PLT) Sekretaris Jenderal MPR RI Siti Fauziah mengatakan setelah mengalami empat tahap perubahan pada era reformasi, Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945 mulai dirasa ada kekurangan yang harus disempurnakan. Ia mempertanyakan, apakah penyempurnaan terhadap UUD harus dengan melakukan perubahan atau ada cara lain yang bisa dilaksanakan.
Saat ini, pengaktualisasian living constitution tidak melulu harus dengan perubahan konstitusi. Penerapan living constitution juga bisa dilakukan melalui tafsir konstitusi di Mahkamah Konstitusi maupun konvensi ketatanegaraan.
Penyelenggaraan Sidang Tahunan MPR adalah contoh pelaksanaan living constitution, tanpa mengubah UUD. Dengan demikian, sebagai negara yang memiliki konstitusi tertulis, cara tersebut bukan menjadi penghalang untuk diterapkannya living constitution.
“Namun, jika ditanya, dalam penerapan living constitution, apakah lebih baik melakukan perubahan Undang-Undang Dasar, atau cukup melalui penafsiran konstitusi dan membangun konvensi ketatanegaraan. Jawabnya sama dengan analogi ban bocor, apakah kita cukup menambalnya atau mengganti dengan ban baru,” katanya, dalam keterangan tertulis, Senin (25/11/2024).
Pernyataan itu disampaikannya saat memberikan sambutan pada pembukaan Sarasehan Nasional “Gerakan Pemaknaan Konstitusi Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (perwujudan living constitution), kerja sama MPR RI dengan Fakultas Hukum Universitas Pancasila. Acara tersebut berlangsung di Gedung Nusantara Universitas Pancasila, Lenteng Agung Jakarta Selatan, Senin (25/11).
Untuk kebutuhan jangka pendek, kata Bu Titik panggilan akrab Siti Fauziah, menambal ban bocor bisa menjadi pilihan yang tepat. Tetapi, jika bocornya terlalu banyak, untuk keamanan dan kenyamanan dalam jangka panjang, pilihan mengganti dengan ban baru adalah solusi yang paling tepat. Dengan demikian, jika harus memilih, untuk menerapkan living constitution, menurutnya lebih baik dilakukan melalui perubahan UUD.
“Karena negara yang mengevolusikan konstitusinya tanpa batasan akan menyebabkan negara tersebut kehilangan jati diri bangsanya serta kehilangan kekuatan mengikat pada konstitusinya,” ungkapnya.
Diketahui perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan tahun 1999 hingga 2002, menurut Bu Titik merupakan bukti bahwa MPR telah berupaya menjadikan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi yang hidup, sesuai kebutuhan masyarakatnya. Sebagaimana keinginan gerakan reformasi yang menuntut untuk dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Pernyataan serupa disampaikan Wahiduddin Adam. Saat menyampaikan pidato kunci, Hakim Konstitusi periode 2014-2024 itu mengatakan perubahan adalah sebuah keniscayaan. Bahkan di dunia pesantren dikatakan bahwa manusia itu harus berubah. Karena Allah tidak akan mengubah nasib manusia kecuali dia mengubah dirinya sendiri.
“Destruksi atau dalam bahasa pesantren dinamakan taghayyur, harus memiliki target lahirnya perubahan positif bagi umat manusia. Karena adanya setiap aturan, itu berfungsi untuk kebaikan manusia,” ungkap Wahiduddin.
Memelihara yang baik, itu menurut Wahiduddin adalah perbuatan utama. Tapi mengambil sesuatu yang lebih baik itu adalah pekerjaan mulia. Kaidah, itu juga diterapkan dalam periode Restorasi Meiji Jepang 1886-1889. Saat itu negara Jepang melakukan perubahan pemerintah yang fundamentalis. Tetapi keterbukaan yang diakibatkan Restorasi Meiji tidak sampai meninggalkan tradisi luhur mereka. Bahkan hingga kini tradisi para pendahulu Jepang masih terus bertahan.
“Bahkan, Taghayyur yang dilaksanakan di Jepang membuat mereka maju, bukan hanya di negaranya tapi juga di dunia,” katanya.
(prf/ega)