Jakarta –
Berawal dari toko bahan pokok dan makanan biasa, kini Trader Joe’s berubah menjadi destinasi favorit wisatawan saat berkunjung ke Amerika Serikat (AS). Apa pembedanya?
Kini toko grosir tersebut berkembang pesat di seluruh AS, tercatat sudah ada 571 toko di seluruh AS. Awalnya, jaringan toko kelontong itu cuma ada di kantor pusat, yakni di Monrovia, California.
Melansir CNN, Selasa (19/11/2024) toko grosir Trader Joe’s menjual bahan-bahan pokok dan kebutuhan lainnya, namun tempat tersebut juga memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh gerai lain. Di sana tersedia berbagai camilan unik, seperti popcorn rasa acar, protein bar rasa rempah labu, bir rasa mentega, kue speculoos atau burrito burger keju.
Penulis buku The Art of Trader Joe’s, Julie Averbach, mengatakan Trader Joe’s bisa sangat popular dan digandrungi wisatawan karena toko itu diibaratkan seperti Disneyland-nya toko kelontong di Amerika.
“Mereka berhasil menarik berbagai indera pelanggan, mulai dari kemasan produk yang menarik perhatian, seni mural buatan tangan yang ada di toko, hingga musik yang diputar di pengeras suara, serta konter pencicipan produk,” kata dia.
Trader Joe’s pertama kali dibuka di Pasadena, sebuah wilayah di Los Angeles pada tahun 1967. Sang pemiliki gerai, Joe Coulombe terinspirasi oleh perjalanan keliling dunianya dan ingin membuat bahan-bahan yang sulit ditemukan pada waktu itu lebih mudah diakses di Amerika Serikat.
Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Morning Consult pada tahun 2024, sekitar 25% pelanggan setia Trader Joe’s berasal dari keluarga yang berpenghasilan lebih dari USD 100.000 per tahun.
Studi tersebut juga menggambarkan pelanggan Trader Joe’s sebagai pengguna media sosial yang aktif, baik yang tinggal di AS maupun di luar negeri.
Selain itu, orang-orang menggunakan platform media sosial untuk mencari tahu produk-produk terbaru yang ada di toko ini. Fenomena Trader Joe’s juga telah berkembang menjadi industri rumahan tersendiri.
Para pengguna TikTok dan YouTube rutin mengulas produk-produk terbaru atau mengunjungi berbagai gerai untuk membandingkan pengalaman mereka, menarik banyak pengikut. Berbeda dengan beberapa jaringan toko lainnya yang mengandalkan keseragaman, Trader Joe’s lebih cenderung mengintegrasikan elemen lokal dalam desain tokonya.
Sebagai contoh, di Seattle ada mural Space Needle, sedangkan di San Francisco ada replika Jembatan Golden Gate dari Lego yang dipajang di toko.
Trader Joe’s bukanlah satu-satunya yang mengubah belanja kebutuhan sehari-hari menjadi kegiatan wisata. Situs pemesanan perjalanan Expedia melaporkan bahwa sekitar 39% wisatawan sering mengunjungi toko kelontong selama perjalanan mereka dan 44% berusaha membeli barang-barang lokal, termasuk makanan yang tidak dapat mereka temukan di tempat tinggal mereka.
Bagi Maria Silva, seorang warga Peru yang menghabiskan waktu kuliahnya di North Carolina dan New York, mengatakan Trader Joe’s menjadi bagian tak terpisahkan dari pengalamannya di Amerika.
Awalnya, toko tersebut hanya tempat untuk membeli barang-barang pokok seperti yogurt dan buah segar. Namun, ia segera jatuh cinta pada berbagai produk unik yang tersedia di sana, bahkan membawanya pulang sebagai oleh-oleh untuk keluarga di hari-hari besar, yang membuat mereka juga ketagihan dengan produk-produk Trader Joe’s.
“Dari segi kualitas, harga, dan pengalaman belanja secara keseluruhan, saya merasa ini adalah toko kelontong favorit saya. Saya sangat menyukai kemasannya dan cara produk dipromosikan di toko,” kata Silva.
Menurut pelanggan lainnya, Averbach, kesuksesan Trader Joe’s juga tak lepas dari desain kemasan produk yang berwarna-warni dan kreatif.
“Mereka berusaha membuat produk-produk mereka terlihat menarik, menyenangkan, dan memukau, bukan hanya sekedar menjual bahan makanan,” kata Averbach.
Bahkan, nama produk mereka juga dimaksudkan untuk menambah kesan yang khas misalnya makanan Meksiko seperti salsa dan tortilla diberi label ‘Trader Jose’s’, sementara produk makanan Cina seperti pangsit beku diberi label ‘Trader Ming’s’.
Meskipun sebagian pelanggan menganggap nama-nama produk tersebut lucu, ada juga yang menilai hal tersebut sebagai bentuk rasisme. Pada tahun 2020, sebuah petisi daring beredar yang meminta Trader Joe’s untuk menghapus label-label tersebut.
Meskipun pada awalnya perusahaan berencana untuk menghapus beberapa label, mereka kemudian membatalkan keputusan itu dan banyak label tersebut masih ada hingga saat ini.
Selain makanan, tas belanja dengan merek Trader Joe’s juga menjadi fenomena tersendiri. Setiap gerai menjual tas belanja bertema kota atau negara bagian tertentu, dan versi mini tas tersebut menjadi sangat populer.
Pada awal tahun ini, tas mini tersebut bahkan dijual seharga USD 500 di eBay. Trader Joe’s menjelaskan bahwa geografi merupakan elemen penting bagi merek mereka.
“Tim pengembangan produk kami berkeliling dunia untuk mencari produk-produk luar biasa yang kami rasa akan diminati pelanggan kami. Setiap produk potensial harus melalui proses pencicipan yang ketat sebelum akhirnya dapat tersedia di rak kami,” kata seorang perwakilan perusahaan.
Menurut laporan CNN, Trader Joe’s belum memberikan konfirmasi apakah mereka akan membuka cabang di luar AS. Fenomena yang tercipta di media sosial menunjukkan bahwa mereka mungkin tidak perlu melakukannya. Keterbatasan pasokan dan eksklusivitas produk juga semakin memperkuat pengaruh merek itu sehingga hingga menciptakan penggemarnya.
(upd/fem)