Jakarta –
Pulau Saint Martin resmi dibuka untuk wisatawan pada awal November 2024. Tetapi, tidak ada satupun pengunjung yang datang.
Melansir The Daily Star, Senin (11/11/2024) rupanya, operator tur masih menunggu izin untuk mengangkut wisatawan antara pulau dan daratan utama. Selain itu, berbagai masalah lain turut muncul, di antaranya gangguan terbaru dalam pasokan listrik semakin memperburuk keadaan bagi 12.000 penduduk yang tinggal di pulau kecil di tenggara Bangladesh itu.
Selain itu, komunikasi angkatan laut yang sering terhambat, akibat ketegangan di perbatasan dengan Myanmar.
Faktor-faktor tersebut telah menciptakan suasana ketidakpastian yang membuat penduduk pulau karang satu-satunya di Bangladesh, yang bergantung pada industri pariwisata, mengalami kesulitan.
Sebelumnya, wisatawan dilarang mengunjungi pulau tersebut selama enam bulan setiap tahunnya dan hanya diperbolehkan datang antara November hingga April.
Tetapi, pada akhir Oktober tahun ini, pemerintah memutuskan untuk membatasi pariwisata hanya selama tiga bulan dalam setahun. Tujuannya untuk melindungi keanekaragaman hayati.
Kini, wisatawan diizinkan mengunjungi pulau itu, tetapi dilarang menginap. Sementara itu, pada bulan Desember dan Januari, wisatawan dapat menginap, namun jumlah pengunjung dibatasi hanya 2.000 orang per hari.
Sekretaris Asosiasi Pemilik Kapal Pesiar, Hossainul Islam Bahadur, yang mengoperasikan rute Teknaf-Pulau Saint Martin, mengatakan mereka sudah mengajukan permohonan izin ke Otoritas Transportasi Air Pedalaman Bangladesh untuk mengoperasikan kapal wisata dari Teknaf dan Inani. Namun, hingga saat ini permohonan tersebut belum diproses.
“Mereka meminta kami untuk mendapatkan izin dari Departemen Lingkungan Hidup, jadi kami sedang berusaha mengurusnya. Kami tidak akan mengoperasikan kapal wisata sebelum mendapat izin resmi,” ujar Hossainul.
Meski izin diberikan, wisatawan tetap enggan berkunjung ke pulau tersebut karena perjalanan pulang-pergi yang memakan waktu sekitar 10 hingga 12 jam. Pemilik St. Martin Resort, Shibliu Azam Koreshi, mengungkapkan hal itulah yang membuat wisatawan enggan berkunjung dan memilih destinasi lainnya yang lebih mudah dijangkau.
“Navigasi kapal wisata dari Teknaf ke Saint Martin berisiko karena adanya konflik di perbatasan. Selain itu, perjalanan dari Cox’s Bazar memakan waktu hingga 5-6 jam, jadi wisatawan tidak akan tertarik datang jika harus pulang di hari yang sama,” katanya.
Koreshi menambahkan bahwa keputusan pemerintah itu menambah beban pikiran warga.
“Seluruh bisnis pariwisata dan investasi kami kini berada dalam ketidakpastian. Yang paling dirugikan adalah penduduk pulau, 80 persen dari mereka bergantung pada sektor pariwisata,” kata Koreshi.
Pengelola resor keluarga di pulau tersebut, Tayeb Ullah, menyatakan bahwa pendidikan adik-adiknya dan penghidupan keluarga mereka sangat bergantung pada pendapatan yang berasal dari wisatawan.
“Kami sangat khawatir dengan keputusan untuk membatasi pariwisata. Kami harus bertahan hidup berbulan-bulan ketika pariwisata dilarang dengan menggunakan tabungan yang diperoleh dari wisatawan di waktu lain dalam setahun. Pariwisata adalah sumber utama pendapatan bagi kami. Jika ini dibatasi, banyak dari kami yang akan kesulitan bertahan hidup,” ujar Ullah.
Penduduk pulau lainnya yang bernama Abdur Aziz menyebutkan bahwa fasilitas pengisian ulang meteran prabayar untuk membeli listrik dari pembangkit listrik tenaga surya yang dikelola Blue Marin Energy Ltd di sana, sempat dihentikan selama seminggu hingga Jumat. Akibatnya, banyak penduduk yang tidak memiliki akses listrik.
“Pada hari Jumat, pasokan listrik terhenti sepenuhnya. Setelah warga berunjuk rasa, listrik akhirnya dipulihkan pada Sabtu pagi,” kata dia.
Pejabat Blue Marin Energy menjelaskan bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh masalah pada perangkat lunak server yang terkait dengan proyek ini, yang dikelola oleh Scoob Technology Ltd. Mereka menambahkan bahwa masalah tersebut kini sudah dapat diatasi.
(upd/fem)