Jakarta –
Sisa-sisa yang diyakini sebagai peradaban kuno yang hilang ditemukan di lepas pantai India bagian barat. Temuan ini berupa kota bawah laut membentang lebih dari 8 km panjangnya, dan 3 km lebarnya.
Kota tenggelam ini ditemukan 36 meter di bawah air di Teluk Khambhat yang sebelumnya dikenal juga dengan sebutan Teluk Cambay. Bagian paling menarik dari penemuan ini, yang dilakukan oleh National Institute of Ocean Technology (NIOT) pada Desember 2000, adalah bahwa penemuan itu disebut dapat menulis ulang sejarah manusia seperti yang kita ketahui.
Namun, lebih dari dua dekade sejak penemuan penting itu, para ahli masih berselisih pendapat mengenai usia dan pentingnya situs arkeologi tersebut, yang kemudian dikenal sebagai Gulf of Khambhat Cultural Complex (GKCC).
Penemuan Kota Bawah Laut
Struktur seperti kota itu ditemukan oleh NIOT secara tidak sengaja saat mereka melakukan survei polusi rutin di wilayah tersebut. Dengan menggunakan teknologi sonar, tim tersebut mengidentifikasi struktur geometris besar jauh di dasar laut.
Dikutip dari BBC News, puing-puing yang ditemukan dari situs tersebut termasuk tembikar, manik-manik, patung, bagian dinding dan tulang serta gigi manusia, dengan penanggalan karbon menunjukkan benda-benda ini berusia hampir 9.500 tahun.
Saat mengumumkan penemuan itu pada 19 Mei 2001, Menteri Sains dan Teknologi India saat itu, Murli Manohar Joshi, mengatakan bahwa reruntuhan itu milik peradaban kuno.
Ia mengatakan, kota bawah laut ini bahkan lebih tua dari peradaban Lembah Indus Zaman Perunggu (juga dikenal sebagai Harappan), budaya perkotaan paling awal yang diketahui di anak benua India dan salah satu dari tiga peradaban paling awal di dunia, bersama dengan Mesopotamia dan Mesir kuno. Dengan kata lain, penemuan ini tampaknya akan berdampak besar pada pandangan kita tentang dunia zaman kuno.
Kepala geolog tim ilmiah NIOT Badrinaryan saat itu, menuliskan dalam sebuah artikel untuk Archaeology Online bahwa selama beberapa dekade, para arkeolog telah berdebat tentang asal-usul peradaban misterius ‘Harappan’ (Lembah Indus) yang berkembang di wilayah yang sekarang disebut Pakistan dan India barat laut sekitar tahun 3000 SM.
Sisa-sisa yang diyakini sebagai peradaban kuno yang hilang ditemukan di lepas pantai India bagian barat. Foto: Screenshot University of Zadar
|
“Sekarang, temuan baru kami menunjukkan bahwa orang Harappa merupakan keturunan dari budaya induk yang maju yang berkembang pada akhir Zaman Es terakhir yang kemudian tenggelam oleh naiknya permukaan air laut sebelum ‘sejarah’ dimulai,” tulisnya.
“Secara umum dipercaya bahwa peradaban yang terorganisasi dengan baik tidak mungkin ada sebelum tahun 5500 sebelum masa kini. Banyak yang enggan menerima bahwa mitos banjir yang disebutkan dalam banyak tulisan keagamaan kuno mengandung beberapa butir kebenaran,” lanjutnya.
Namun, ia menegaskan bahwa penemuan yang dilakukannya bersama rekan-rekannya dengan jelas menunjukkan adanya peradaban kuno yang tenggelam di laut. Nyatanya, para arkeolog konservatif merasa sulit menerima bahwa teknik ilmiah modern telah berhasil membuat penemuan besar seperti itu.
“Awalnya, ketika citra sidescan sonar dari struktur bawah laut diperlihatkan, sebagian orang menyebutnya sebagai keajaiban perangkat lunak komputer. Ketika ratusan artefak dikumpulkan dan ditunjukkan, mereka berpendapat bahwa sungai purba mungkin telah mengangkutnya,” kenang Badrinaryan.
Menekankan ketelitian kerja timnya, ia melanjutkan bahwa studi ilmiah terperinci dilakukan untuk membuktikan bahwa artefak tersebut benar-benar ada di situ.
“Kritik tersebut telah mendorong kami untuk mengadopsi teknologi dan metodologi ilmiah paling modern yang tersedia di dunia, yang telah sepenuhnya mendukung temuan kami, dan hasilnya telah dipublikasikan sebagai makalah penelitian di jurnal internasional terkemuka,” sebutnya.
Bukti-bukti Buatan Manusia
Dan memang, para ahli lain telah memvalidasi setidaknya beberapa kesimpulan yang ditarik. Berbicara kepada publikasi Frontline pada 2002, pegawai negeri sipil India dan pakar aksara Indus kuno terkemuka India, Iravatham Mahadevan, mengakui bahwa foto sonar mengungkapkan struktur yang kemungkinan besar dibangun oleh manusia.
“Pertama, ada serangkaian kotak yang Badrinaryan dan rekan-rekan ilmuwannya tafsirkan sebagai pemukiman dalam pola kisi-kisi. Saya bukan seorang arkeolog, apalagi arkeolog bawah air. Tetapi tetap saja, sulit membayangkan serangkaian area alas persegi, dengan struktur seperti kisi-kisi, yang membentang sejauh beberapa kilometer terjadi di alam,” kata Mahadevan.
“Sekali lagi, ada struktur persegi panjang panjang dengan sesuatu yang mirip dengan tangga yang mengarah ke bawah, yang jelas buatan manusia,” yakinnya.
Namun, jika berbicara mengenai banyak artefak, termasuk batu-batu berharga, Mahadevan dan yang lainnya sepakat bahwa benda-benda ini bisa saja terhanyut dari tempat lain.
Mungkin bukti yang paling kontroversial adalah berupa sepotong kayu. Benda ini telah diberi tanggal karbon dan diperkirakan berusia 9.500 tahun, sehingga digunakan oleh banyak ahli untuk menentukan usia seluruh situs. Namun, pakar Indus lainnya bernama Akso Parpola dari University of Helsinki, menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan kunci perlu diajukan di sini.
Arkeolog Justin Morris dari British Museum mengatakan masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan sebelum situs tersebut dapat secara kategoris diklasifikasikan sebagai milik komunitas berusia 9.000 tahun. Foto: Screenshot University of Zadar
|
Dalam wawancara terpisah dengan Frontline dia berkata, “Pertama, dapatkah usia kayu yang ditemukan di bawah laut dihubungkan dengan kekunoan situs tersebut? Kedua, apakah satu bukti ini cukup untuk menyimpulkan kekunoan situs tersebut? Ketiga, apakah situs bawah laut merupakan konteks yang aman untuk mengukur kekunoan situs tersebut?”
Ia kemudian mempertanyakan, apakah penanggalan karbon radio (yang digunakan dalam kasus ini) dan termoluminesensi (yang akan digunakan untuk tembikar yang ditemukan di situs tersebut) memberikan penanggalan yang dapat diandalkan untuk periode kuno?
“Saya telah melihat beberapa material menarik yang tampaknya hanya terdapat di tempat ini, tidak di daerah sekitarnya. Namun masalah dengan lokasi ini adalah pengaruh pasang surut yang sangat kuat dan pasirnya terus bergeser. Jadi ketika kita menemukan objek datar di sini, menurut saya sangat mungkin bahwa perataan ini terjadi karena aktivitas pasir hingga erosi oleh pasir,” ujarnya.
Meskipun ada skeptisisme dari orang-orang seperti Parpola dan Mahadevan, banyak orang yang menyambut penemuan ini dengan gembira. Pembuat film dokumenter Netflix ‘Ancient Apocalypse’ yang kontroversial, Graham Hancock, menegaskan bahwa bukti-bukti yang ada cukup kuat.
“Para ahli kelautan menemukan bahwa mereka berhadapan dengan dua blok besar struktur yang tampaknya buatan manusia. Kota-kota sebesar ini tidak diketahui dalam catatan arkeologi hingga sekitar 4.500 tahun yang lalu, ketika kota-kota besar pertama mulai muncul di Mesopotamia,” ujarnya.
“Tidak ada hal lain yang diketahui sebesar kota bawah laut Cambay. Kota-kota pertama pada periode sejarah tersebut berada sangat jauh dari kota-kota ini seperti jarak kita saat ini dari piramida Mesir,” tambah Hancock.
Hal ini, tegasnya, dapat menyebabkan gangguan besar pada alur waktu sejarah saat ini. Menurutnya, ada masalah kronologis yang besar dalam penemuan ini. “Artinya, keseluruhan model asal-usul peradaban yang selama ini digunakan para arkeolog harus dibuat ulang dari awal,” sebutnya.
Penelitian Lebih Lanjut
Meskipun demikian, arkeolog Justin Morris dari British Museum mengatakan masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan sebelum situs tersebut dapat secara kategoris diklasifikasikan sebagai milik komunitas berusia 9.000 tahun.
“Secara budaya, di bagian dunia itu tidak ada peradaban sebelum sekitar 2.500 SM. Apa yang terjadi sebelum itu sebagian besar terdiri dari pemukiman desa kecil,” katanya.
Morris juga menunjukkan bahwa proses penanggalan karbon C14 yang digunakan untuk menentukan usia banyak artefak di situs tersebut bukannya tanpa kelemahan. Namun, 23 tahun setelah penemuan itu dilakukan, kesimpulan pasti belum tercapai. Hal ini terjadi sebagian karena penjelajahan situs tersebut sangat sulit karena lokasinya di perairan yang sangat berbahaya, dengan arus dan pasang surut yang kuat.
Namun, Joshi dan lainnya bersikeras bahwa kebenaran harus ditegakkan. “Kita harus mencari tahu apa yang terjadi saat itu. Di mana dan bagaimana peradaban ini lenyap,” tekadnya.
(rns/rns)