Jakarta –
Tersangka dalam kasus dugaan korupsi impor gula Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong pernah membuat pernyataan yang menyita perhatian publik dalam masa Pilpres 2024 lalu. Mantan Menteri Perdagangan itu mengaku punya penyesalan besar pernah menjadi menjadi bagian dari pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Saat itu, Tom Lembong bicara sebagai Co-Captain Tim Nasional Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN). Di pemerintahan Jokowi, Tom Lembong pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Kepala BKPM.
“Saya punya rasa sesal, nyesal yang lumayan besar karena saya pernah menjadi bagian dari pemerintah,” kata Tom Lembong dalam diskusi “Pemuda Harsa: Bangga Bicara” di On3 Senayan, GBK, Jakarta, pada 9 Februari 2024.
Alasan Tom Lembong menyesal menjadi bagian pemerintahan Jokowi karena kala itu strategi yang dijalankannya dalam membenahi ekonomi Indonesia tidak sepenuhnya berhasil. Strategi yang disepakati disebut gagal mengembangkan ekonomi di Indonesia.
“Di saat-saat kita menjalankan strategi yang menurut data yang saya lihat, rada-rada tidak berhasil. Kalau mau lebih keras lagi, ya banyak gagal,” beber Tom Lembong.
Menurutnya, salah satu bentuk kegagalan yang dimaksud adalah pemerintah Jokowi tidak dapat memperbaiki kondisi kelas menengah di Indonesia. Menurutnya dalam 10 tahun terakhir jumlah kelas menengah di Indonesia tidak mengalami perkembangan signifikan.
Dia mengatakan salah satu indikatornya bisa dilihat dari data tentang penurunan penjualan sepeda motor. Selain itu pertumbuhan pembelian mobil dan barang elektronik, jumlahnya terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan, kesejahteraan kelas menengah terus terhimpit.
Sebagai informasi, Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah menetapkan Tom Lembong sebagai salah satu tersangka dalam kasus korupsi impor gula tahun 2015-2016.
alam kasus ini, Tom Lembong diduga mengeluarkan izin impor gula saat produksi dalam negeri melimpah alias surplus ketika menjabat sebagai Menteri Perdagangan di 2015. Kala itu, dalam rapat koordinasi antarkementerian produksi gula dalam negeri dalam keadaan surplus, sehingga impor tak diperlukan.
Izin impor gula kristal mentah yang dikeluarkan oleh Tom Lembong disebut sebesar 105.000 ton. Izin impor itu dikeluarkan untuk perusahaan swasta yang kemudian gula tersebut akan diolah menjadi gula kristal putih.
Padahal, sesuai aturan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 57 Tahun 2004, pihak yang diizinkan melakukan impor gula kristal putih hanya BUMN. Buntut dari izin impor tersebut, menurut Kejagung menimbulkan masalah pada stok gula kristal putih pada 2016. Kala itu Indonesia kekurangan gula kristal putih sebanyak 200.000 ton.
Sementara CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), tugasnya disebut memerintahkan bawahannya melakukan pertemuan dengan perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula.
Untuk mengatasi masalah gula, yang diimpor adalah gula kristal putih, tetapi impor yang dilakukan gula kristal mentah. Gula itu kemudian diolah oleh perusahaan yang hanya memiliki izin mengelola gula kristal rafinasi.
Setelah mengimpor dan mengolah gula kristal mentah, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut. Padalah, gula itu dijual dengan harga Rp 16.000 yang lebih tinggi dari HET saat itu, yakni Rp 13.000. PT PPI mendapat fee dari perusahaan yang mengimpor dan mengelola gula tersebut. Kerugian negara dalam kasus ini sekitar Rp 400 miliar.
(acd/fdl)